Just for gengsi
Joseph Viar Suhendar
Kelompok teater yang disutradarai oleh mas Ogi akan membuat film, namun dananya minim, karena yang membiayai pembuatan film tersebut hanya mas Ogi sendiri.
Iksan yang yang ditunjuk mas Ogi sebagai seksi konsumsi merasa disepelekan, karena honor yang akan diberikan kepada Iksan 100.000. ”Malu gua. Harga diri gua mau dikemanain? Gua kan lulusa sinema tografi, masa gua jadi seksi konsumsi. Honornya kecil lagi.” Kata Iksan kepada teman-temannya. Padahal dia bohong, dia bukan lulusan sinema tografi, dia hanya lulusan ”S1” di kampungnya. ”S1”, maksudnya SD doang! Cuma Iksan orangnya gede omong dan rasa gengsinya tinggi. Lulusan SD mengakunya lulusan kuliahan. Baru punya sepeda mengakunya sudah punya motor.
”Kok motonya nggak dibawa, Ksan?” Tanya temannya.
”Males, boros bensin. Kemarin baru dimodif, dibikin kaya motor Valentino Rosi. Berat banget, gua simpan aja di rumah,” jawab Iksan. Padahal dalam hatinya dia berkata, ”Gua harus nyari duit agar kata-kata gua barusan jadi kenyataan.” dia menarik nafasnya.
Dilibatkan dirinya dalam pembuatan film itu, harapan Iksan akan mendapat honor besar. Ternyata harapan tidak sesuai dengan kenyataan, dan mas Ogi memberi tugas hanya menyediakan konsumsi saat shooting nanti. Namun sebelum hari shooting tiba, Iksan oleh mas Ogi disuruh membeli property untuk kebutuhan adegan.
”Ini kesempatan!” Kata Iksan. Niatnya dia akan korupsi. Dan niat itu memang sudah direncanakannya. Karena dia yakin uang untuk membeli konsumsi pasti akan diserahkan kepadanya.
Irfan, astradanya mas Ogi berkata, “’Ksan honor kamu kan kecil, nanti kalau belanja barang-barang tawar semurah mungkin, terus di buku laporan tulis harga barang-barang itu sesuka kamu. Kalau dari sana harga satu barangnya 10.000, tulis saja harga barang itu di buku laporan 20.000, atau berapalah, yang penting dilebihin.”
Iksan lansung membentak, “Tingkah kamu sama seperti Rejim Orde-baru juga, sorry ‘saya nggak bakal melakukan itu. Saya bosan dengan tingkah-tingkah seperti itu.” Katanya.
Irfan langsung pergi. ”Muak,” katanya mendengar Iksan berbicara seperti itu—sok’ alim.
Dan waktu mas Ogi memberikan uang untuk belanja property, disitulah Iksan merencanakan dirinya untuk membohongi mas Ogi dalam masalah harga. Bahkan titipan uang untuk Irfan dari mas Ogi sebesar 50.000, sampainya ke tangan Irfan bukan 50.000, tapi 20.000. Irfan marah-marah awalnya, dia menyangka mas Ogi menghianati perjanjian uang awal yang akan diberikan kepadanya. Tapi setelah menyadari dana produksi film itu minim, akhirnya Irfan menerima juga uang itu dengan lapang dada, karena dia menyangka uang 20.000 itu memang sejujurnya dari mas Ogi.
“Mas Oginya dimana?” Tanya Irfan.
Iksan agak salah tingkah, dan tidak menjawab, “saya ke mushola dulu, ya.” Katanya sambil pergi. Irfannya diam menatap Iksan pergi, dan dia stand by di tempat itu menanti Iksan kembali lagi. Padahal Iksan tidak ke mushola, dia pergi belanja ke Pasar pagi.
Ketika Iksan membeli barang-barang yang dibutuhkannya, dia jago sekali tawar-menawar harga dan dia selalu menang.
“Ini berapa, Bang?”
“20.000,” jawab penjual itu.
“5000, saja!” tawar Iksan
“Wah, nggak bisa, mas. Kaya jaman Suharto saja harga barang begini 5000!”
Iksan langsung pergi, pura-pura tidak membutuhkan. Oleh penjual barang itu dipanggil lagi, “10.000, saja, mas.” Iksan pura-pura tidak mendengar. Penjualnya ketakutan Iksan membeli barang itu di tempat lain, karena menurutnya, barang itu walaupun dijual 5000, masih untung, cuma untungnya sedikit. “Ya, sudah, bayar, ni, mas!” penjual itu teriak. Iksan langsung membalikan badannya, dia tersenyum puas karena bisa mendapatkan barang itu dengan harga yang diinginkannya.
“Pakai nota, ya, Bang!” kata Iksan, “Di nota harganya jangan ditulis 5000, tapi 15000, ya!” penjualnya menatap Iksan, sepertinya dia tahu bahwa Iksan akan berbuat curang. Tapi dia menuruti juga perintah Iksan.
Lama-lama keretas nota yang diterima Iksan jadi banyak, karena dia belanja bukan hanya di Pasar pagi. tapi di Pasar senin, di Kebayoran, dan di Blok m,
Lalu dia menghitung jumlah uang pada keretas nota itu. Jelas saja jumlah uang jadi lebih besar dari sebelumnya. Mas Ogi memberikan uang untuk belanja waktu itu jumlahnya 500.000, setelah dia menjumlah angka uang pada setiap keretas nota itu, jelas saja jumlahnya jadi lebih, yaitu: 700.000 “Lumayan untung 200.000,” kata Iksan dalam hatinya.
Ketika barang-barang hasil belanja dan sejumlah keretas nota itu diserahkan kepada mas Ogi. Mas Oginya kaget.
“Kok, jumlahnya jadi lebih?” Tanya mas Ogi sambil menghitung kembali tiap jumlah uang pada keretas nota tersebut.
“Harga barang-barang sekarang naik,” jawab Iksan, “biasa, harga BBM kan ngefek ke segala macam.”
“Anjing, ya! Pedang-pedang sekarang, harga BBM naik harga barang-barang jualannya dinaikin juga, kaya punya kendaraan banyak aja.” Kata mas Ogi, mungkin dia kesal karena dananya tinggal sedikit.
Iksan agak gerogi, tapi dia purta-pura tenang: merokok, minum kopi, padahal dalam hatinya ketakutan.
“Yang 200.000-nya uang siapa?” Tanya mas Ogi.
“Uang saya,” jawab Iksan agak gemetar Ogi. Mas Ogi mengambil uang dari dompetnya 200.000, lalu diserahkan kepada Iksan. Iksan bahagia sekali menerima uang itu, dalam hatinya dia tertawa sambil berkata, “Mampus, kamu saya tipu!”
Dan Iksan tidak merasa ada rasa belas kasihan sedikit pun. Sudah tahu dana mas Ogi sedikit lagi, masih saja dia tipu.
Saat shooting-nya Iksan kan dipercaya sebagai penanggung jawab konsumsi. Dari penjualnya harga nasi satu box 10.000, eh… kata Iksan kepada mas Ogi, harga nasi satu box dari penjualnya 12500. Tanpa berpikir panjang mas Ogi langsung memesan 100 box untuk per-satu kali shooting. Lama shooting 7 hari. Untung besar Iksan, 2500 X 700 = 1750.000 + 200.000, dari hasil tipuannya dia pada waktu belanja, jadi jumlahnya, 1950.000 + 100.000, honor aslinya, jadi jumlah keseluruhanya adalah 2050.000.
Dan gobloknya Iksan, setelah shooting usai, dia mencuri hand pone milik pemain film itu. Tapi ketahuan, dia dihajar dan diusir waktu itu juga.
Tapi dia tidak merasa kapok. Waktu latihan teater, dia mencuri lagi hand pone milik temannya. Temanya itu marah-marah setelah mengetahui hand phone-nya hilang, semua tas yang ada di tempat itu diperiksa olehnya satu persatu. Iksan panik, dia takut tasnya diperiksa, karena hand phone hasil curianya ada dalam tasnya. Dengan cepat dia mengambil tasnya, lalu bersembunyi di mushola.
Setelah terlihat di luar mushola aman. Dia keluar dari mushola itu. Ada sepatu mahal yang pemiliknya sedang menunaikan shalat waktu itu. Dasar mental maling, sepatu itu dicuri oleh Iksan.
Teman-temannya Iksan semuannya sepakat bahwa yang mencuri hand pone itu adalah Iksan, karena pada waktu pemeriksaan tas, Iksannya sudah tidak ada di tempat dengan tasnya. Dan mereka sepakat, kalau besok ada Iksan di tempat latihan, mereka akan menghajarnya. Tapi sayang Iksan tidak kembali lagi latihan teater.
Kata Iksan, “malas latihan teater, nggak ada duitnya.”
Hall_c. Bulungan 11_07_08.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar