Rabu, 20 Mei 2009

kumpulan cerpen

GENERASI OF THE THEATER


Joseph Viar Suhendar


Yang saya tahu orang-orang setelah lulus SMA atau kuliah mencari pekerjaan di kantor-kantor. Tap teman saya yang berna Yolan, setelah lulus sekolah dia berjanji akan sehidup semati dengan pacarnya yang teater. Setiap hari dia memikirkannya, membayangkan dirinya olah tubuh, olah vocal, bicara sendiri seperti orang gila. Katanya, teater adalah hidupku, hari-hariku seoi tanpa teater di sisik. Nasmun Yolan sendir, idak berdiskusi, dan tidak tahu harus kemana dia mengadu jika teater telaah membuatnya suntuk bosan dan suntuk. Akhirnya dia sering membut keputusan sendiri, dan itu solusi yang paling baik, menurutnya. Tingkahnya pun berubah dan selalu menyepelekan hasil karya orang lain. Semua pertunjukan teateryang ditontonya, menurutnya pertunjukan itu yak ada rohnya-kurang kompak-kurang “grek”, kurang apalah, pokoknya banyak.


Beberapa bulan yang lalu, sutradara teater yang selalu mengajar di sekolahnya, menyatakan akan berhenti dan sebagai penggantinya: Yolan. Yolan girang sekali, karena sudah merasa mampu. Teman-temannya di SMS—memberi tahu dirinya sudah jadi sutradara. Dan jika bertemu dengan teman-temannya gayana selagit, sok berpengalaman dan sok memiliki banyak pengetahuan tentang kehidupan.


Jika sdang latihan teater di sekolahnya, galaknya minta ampun apalagi jika ada wanita atau orang banyak menontonnya, galaknya makin menjadi-jadi, muridnya salah sedikit, bukan hanya suaranya yang membentak, tapi berbagai macam binatang dan yang jorok-jorok berhamburan dengan riang dari mulutnya. Dan itu hanya jadi bahan ejekan teman-temannya. Tapi depan Yolan mereka tetap memujinya. Yolan jadi tambah belagu dan jadi suka menyepelekan.


Awalnya biasa saja, walau pun mereka thuu Yolan suka over ecting. Namun ada di antara mereka yang telah merasa telah banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran merasa tak mendapat apa-apa dan dia mengatakan unek-uneknya itu kepada yang lain, otomatis sebagian dari merreka terpengaruh. Lalu satu persatu di antara mereka menjauhi Yolan.


Berhubung Yolan tidak begitu dekat dengan mereka. Dia tidak merasa telah dijauhi teman-temannya. Dia membuhkan mereka hanya saat akan membuat pertunjukan. Dia hanya berkeumpul dengan senior-seniormya. Namun depan senior-seniornya dia tetap songong, minum satu gelas dengan seiormya, kalau berbincang-bincang dia memanggil merek: elu, gua. Senior-seniornya hanya tersenyum, menganggap yolan masih bau kerncur dalam dunia teater. Namaun Yolan tidak menyadari per,aklu,am itu, bahkan dia sering mengejek orang-orang lewat dengan kata ‘Ecek-ecek’ bahkan suka menghinanya.


Lama-lama senior-seniornya merasa bosan membing-bingnya. Setiap seniornya berkata, “Kamu harus peka, Yolan! Belajarlah dari saesuatu yang kamu lihat dan kamu rasakan.” Kepala Yolan mengangguk-ngangguk, namun dia enggerutu, “Kata-kata semior gua pasaran banget, dasar kolot. Texs book, lo bang!”


Yolan akhirnya diacuh tak acuhkan oleh semua orang yang mengenal tingkahnya. Dia enya dari adanya hal itu saat dia akan mermbuat pertunjuakan. Semua temanya dari mulai pemusik, lighting man, artistic man, tak ada yang mau mendekatinya. Alasan mereka, sibuk mencari kerja, katanya. Yolan agak kaget, karena teman-temannya dulu sepakat akan selalu membantunya, “Sialan, giliran gua butuh, pada kabur, lo!” katanya.


Tapi walaupun seperti itu, Yolan tetap latihan. Dia menghubungi orang lain untuk membantunya di pertunjukannya nanti, dan dia berani membayarnya dengan tarip yang ditetapkan orang itu—tak ada tawar menawar! Orang yang akan membantu Yolan itu bahagia sekali.


Kata Yolan, “Gua melakukan itu biar orang-orang itu tahu, gua bisa melakukannya tanpa harus ada mereka!”


Padahal untuk membiayainya hasil patungan para pemaon teaterya yang semua masih SMA. Sedabgkan yolan sepeser pun tidak mengeluarkan uang untuk itu. Dan pertunjukan itu diadakan bukan berunding dengan para pemain teaternya melainkan hanya keinginan Yolan semata.


Dia bahagia sekali pertunjukannya sukses dari awal ssampai akhir. Bukan sukses bagus, tapi sukses tak ada yang menggangunya. Pertunjukannya tetap saja jelek. Dia menyadari pertunjukannya lebih jelek dari sebelumnya. Namun tidak mengurangi tingkah kebelaguannya berkurang. Bahkan saat anak didiknya menjadi juara pembacaan cerpen se-kota madiya. Dia langsung mberkata depan teman-temannya. “Siapa dulu sutradaranya, ni bang Yolan! Mau jadi juara? Gabung latihan dengan gua: anak komplek! Elo kumpulnya dengan anak-anak kancil, sih, jadi bego, deh.”


Anak kancil maksudnya anak-anak yang baru bergabung latihan teater. Jika kepada senior-seniornya Yolan memanggilnya “Kiayi Langitan”. Namun seniornya itu tidak menerima dipanggilnya dengan kata itu. Bahkan ada seorang seiornya yang menyumpahinya, “Jika kamu tidak punya rasa sopan-santun. Nanti saat festival kamu nggak bakal jadi juara, Yolan”


“Ah!” gerutu Yolan, “memanggnya yang mengatur nasib di duania ini elu, bang! Senior-senior fua itu kalo ngomong suka seenak lidahnya doing. Padahal umur dengan sekil tuaan umur. Tong kosong!”











Lajang


Joseph Viar Suhendar


Maaf, sebelumnya saya akan bertanya. Apakah kamu pernah merasakan rasa minder? Jika pernah, mungkin rasa minder yang saya rasakan sekarang pernah dirasakan kamu juga. Bukan minder—merendahkan diri, tapi minder—malu depan teman-teman sebaya karena belum menikah. Sebenarnya saya sedih, sudah setua ini kok saya belum beristri. Sedangkan adik-adik saya semuanya sudah mempunyai anak. Jadi bingung saya. Apalagi jika lebaran tiba, malas sebenarnya pulang kampung. Keluarga saya suka menanyakan pasangan saya. Padahal mereka tahu sampai saat ini saya belum punya pacar. Terus terang saya benci, dan tersinggung. Malahan ada yang lebih menyinggung: teman saya menjuluki saya “Si pecandu masturbasi”. Padahal saya sudah tidak pernah melakukan itu lagi. Tapi bukan berarti saya homo. Jika hasrat ingin “begituan” dengan wanita muncul dalam benak saya. Terus terang batin saya sangat tersiksa. Kok, umur sudah kepala tiga saya masih perjaka. Padahal saya ingin sekali punya istri. Ada yang memanggil saya Papah, Ayah atau Abang tersayang atau apalah yang penting sudah berumah tangga. Tapi sampai saat ini masih belum mapan juga. Dan setiap wanita yang saya kenal, mereka pun tidak memberi isyarat bahwa mereka menyukai saya. Mereka sepertinya hanya ingin berbicang-berbincang saja dengan saya.


Yang paling sering berbincang-bincang dengan saya itu Risya, teman kerja saya di toko emas. Masih muda, baru 20 tahun. Wajahnya mirip Dian Sastro Wardoyo, tubuhnya berisi dan selalu berpakaian sexy. Saya paling suka jika dia memakai kaos ketat dan rok mini, lalu nungging mengambil sampah di lantai dan pantatnya mengarah ke arah saya. Masya Allah… bersicepat tangan saya merogoh hand pone, kemudian memotretnya. Di kosan baru saya pandangi hasil potretan saya itu sambil rebahan. Memory card hand pone foto saya sudah hampir penuh oleh foto- foto Risya. Tidak ada foto wanita lain selain fotonya. Hampir setiap hari saya membayangkan saya membelainya, menciumnya, tidur berduaan dengannya. Aduh, terusterang saya menyukainya.


Sampai-sampai saya cemburu kepada Si Sugeng, tukang kebun bos saya, Pak Ahok. Gara-garanya dia suka menjemput Risya. Hampir setiap hari dia menjemputnya. Apalagi hari sabtu, sebelum jam kerja selesai dia sudah datang menjemputnya. Dan Risya pun selalu menuruti ajakanya. Jika saya melaporkanya kepada Pak Ahok. Pak Ahok malah menertawakan saya. Dan dia selalu bilang saya itu ngiri-an, jomlo kolot, katanya. Bajingan! Padahal dia juga jomlo. Istrinya meninggal diperkosa waktu kerusuhan mei- 98.


Sebelum Risya bekerja di toko, Pak Ahok masih sering SMS-an dengan saya, menelepon saya, cur-hat, minta ide mendapatkan wanita yang gampang. Salah alamat, bos, kata saya dalam hati. Minta cara mendapatkan wanita kepada orang yang belum pernah pacaran seumur hidupnya. Padahal dia kaya: motor punya, mobil punya, rumah mewah. Ternyata orang kaya juga sulit mendapatkan wanita, ya? Apalagi saya yang kerjanya hanya pelayan toko emas. Iya, kan ?


Tapi anehnya, si Sugeng yang umurnya tiga hari lagi koit, bisa mendekati Risya. Punya pelet apa tua bangka itu? Kalau masalah keren antara saya dengan dia, sok pasti kerenan saya. Motor saya pribadi, setatus saya paling tinggi. Si Sugeng motornya milik bos. Gajinya perbulan cuma cukup buat membeli bensin satu liter. Tapi Risya mau, ya, dibonceng oleh orang yang pantas dipanggil kakek.


Setiap hari saya berpikir, mencari cara agar si Sugeng tidak bisa menemui Risya lagi. Tapi sulit. Saya hanya menemukan satu cara: saya harus menghasut Risya agar mau pindah kerja. Tapi pindah kerja kemana? Bingung juga saya waktu itu. Akhirnya saya menelepon teman saya yang bekerja di hotel, di super market, dan di mall. Kebetulan, teman saya yang bekerja di hotel memberi tahu di tempat kerjanya sedang membutuhkan karyawan.


Ketika masuk kerja, saya langsung berkata kepada Risya bahwa di hotel tempat teman saya bekerja sedang membutuhkan karyawan. Dia menolak awalnya. Dia bilang sudah sangat betah bekerja bersama saya. Saya tersenyum dan menatapnya. Karena menyangka itu salah satu isyarat dia juga suka kepada saya. Dilihat dari tingkahnya sepertinya memang suka kepada saya. Setiap pagi pertama ketemu, dia selalu mencium tangan saya, mau pulang dia mencium lagi tangan saya, bahkan mau pergi dengan si Sugeng pun, dia pamitan sambil mencium tangan saya. Bagaimana hati saya tidak luluh dengan tingkanya itu.


Keinginan saya untuk membujuknya supaya pindah kerja pun semakin besar. Sayang menolak terus, katanya takut dimarahi pak Ahok. ”Apa hubungannya dengan bos?” Tanya saya. ”Pak Ahok itu hanya menggaji kamu yang tidak seberapa. Di hotelmah—mewah, pakaian seragam—rapih, ruangan ber-AC dan kamu bisa menabung lebih banyak,” kata saya. Setelah saya berkata seperti itu. Dia diam. Lalu berkata, ”iya, deh, besok saya antar lamaranya.” Saya langsung girang. ”Jangan menunggu besok, sekarang saja mumpung masih pagi!” Kata saya. Kelihatanya masih ragu. Tapi saya terus membujuknya. Akhirnya pergi juga.


Hari-hari selanjutnya, Risya sudah tak datang lagi ke toko. Saya bahagia sekali dia sering menelepon saya. Mengatakan tempat kerjannya yang baru sangat membuatnya bahagia. Dan jika kebagian kerja malam, seusai kerja selalu menelepon saya minta dijemput. Dengan senang hati saya melakukanya. Karena saat-saat seperti itulah saat yang paling saya tunggu. Saya bisa berduaan berbincang-bincang di atas motor dan bisa mengantarnya ke rumahnya. Agar orang tuanya tahu yang mengantar anaknya adalah saya. Siapa tahu mereka setuju.


Suatu hari, ketika si Sugeng datang ke toko akan menjemput Risya. Dia keget setelah saya mengatakan Risya sudah pindah kerja. Mampus! Kata saya dalam hati. Dia langsung pergi, dan sepertinya dia tahu, saya membencinya. Tapi tak lama, dia datang lagi bersama bos. Bos langsung marah-marah, ”kenapa kamu nggak menghubungi saya jika Risya sudah pindah kerja?” Saya diam dan agak gemetar, takut bos tahu bahwa otak semua ini adalah saya. Lalu kata bos, ”untuk sementara, pak Sugeng bekerja di sini, menggantikan Risya.”


Yang giliran kaget saya. Mata saya membelalak.


Bos, apakah nggak ada orang lain selain si Sugeng?”


Kamu ini siapa?” bentak bos, ”yang mempunyai toko ini saya! Mau kamu saya pecat?”


Saya tak menjawab, dalam hati saya kesal. Apalagi ketika saya melirik si Sugeng. Dia tersenyum mengejek, sepertinya dia puas saya dimarahi. Tukang kebun peot! Kata saya dalam hati.


Saya dengan si Sugeng diem-dieman seperti anak SD sedang marahan. Ketika pertama dia masuk kerja, dari mulai toko dibuka sampai toko ditutup diantara kami tak ada yang bicara. Terus lama-lama tingkah dia jadi merasa sok dekat dengan bos. Belagu dan suka merintah. Walau pun dia paling tua, tapi yang pertama kerja di toko itu kan saya, jadi saya yang senior, dan yang berhak memegang hak perintah itu saya, bukan dia. Dan kadang-kadang, dia suka pulang sebelum jam kerja berakhir. Alasanya melaksanakan tugas penting dari atasan.


Atasan tahi! Kok jadi seenaknya begitu. Saya langsung saja melapor kepada bos. Eh... bos malah bilang, ”nggak apa-apa, kalau kamu mau pulang sebelum jam kerja selesai, pulang saja, tapi jangan kembali lagi!” Ya Allah....


Apalagi waktu Risya minta dijemput jam 11 malam di tempat kerjanya. Kata saya, oke aku akan menjemput kamu. Tapi ketika saya di tengah perjalanan menuju tempat kerjanya Risya. Risyanya sudah dibonceng oleh si Sugeng. Saya mengerem mendadak dan tubuh langsung terasa lemas. Para pengendara pada membentak, karena saya berhenti di tengah jalan. Terus di tengah perjalanan pulang, ban motor saya kempes terkena paku. Masya Allah..., malam-malam begitu kan mana ada tukang tambal ban yang buka. Terpaksa saya mendorong motor saya sampai kosan, yang jaraknya antara 3 sampai 4 kilo meter.


Keesokan harinya, ketika masuk kerja, saya langsung memarahinya.


Kamu kalau mau jemput Risya ngomong dulu, dong! Jangan seenaknya!” Kata saya.


Memangnya saya mau antar jemput dia? Capek!” Jawabnya, ”itu bukan keinginan saya. Tapi keinginan bos.”


Apa hubungannya dengan bos!”


Bos itu pacarnya Risya dan dia akan menikah akhir bulan ini.”


Saya kaget, beberapa saat saya diam menatap mas Sugeng.


Lalu kata mas Sugeng, ”Sudah jangan diambil hati, saya juga tahu kamu suka juga kepada Risya. Dan saya juga tahu kamu cemburu kepada saya. Tapi saya sudah punya anak isteri, mas. Lebih baik mikirin kerjaan dari pada merencanakan punya isteri kedua. Berat dimateri.”


Saya membuang muka, malu, dan merasakan sesuatu yang sangat terasa sakit dalam dada saya. ” Mas,” kata saya kepada mas Sugeng, ”Saya mau pulang duluan, tolong sampaikan kepada bos, kalau mau memecat saya gara-gara saya pulang kerja sebelum waktunya, Pecat saja. Saya akan menerimanya.” tak terasa air mata saya menetes.


Di kosan saya menangis. Kenapa saya tidak tahu bos berpacaran dengan Risya. Dan kenapa Risya selama ini seperti orang yang menyukai saya. Terus terang saya merasa sakit hati dan kecewa. Mulai hari itu, saya berniat tidak akan kembali lagi bekerja di toko emas bos. Dan gaji saya yang satu bulan dengan iklas saya serahkan kepada mas Sugeng, sebagai tanda ma’af saya kepadanya.


Ma’af mas jika selama ini saya telah memfitnah mas Sugeng.”


Hall_c. GRJS


Nama: Joseph Viar Suhendar


Alamat: Jati Padang Pasr Minggu


No hp: 081384777920












Penantian


Joseph Viar Suhendar


Rasa sakit oleh sebab dipukul atau ditampar mungkin akan sembuh dalam waktu beberapa minggu. Tapi rasa dendam, itu terus menusuk, membuat saya terus berpikir, mencari jalan untuk membalasnya. Kamu tahu kenapa saya berkata seperti itu?


Ceritanya waktu itu, saya dengan Ibu saya sedang menjadi Joki. Tiba-tiba datang segerombolan Trantib yang akan menangkap para Joki. Saya dengan Ibu saya panik langsung lari, tapi berhubung lari Ibu saya tidak secepat saya. Ibu saya tertangkap.


Awalnya saya mengira Ibu saya lolos, tapi sampai magrib tiba saya mencarinya tak kunjung ketemu. Saya mendadak tak mau melakukan apa-apa. Maklum saya agak manja. Terpaksa menjadi Joki semenjak ayah saya meningal tertabrak metromini depan terminal. Dan setelah Ibu terangkap, saya jadi kebingungan.


“Kalau ditebus, berapa, ya?” Tanya saya kepada salah satu teman.


“Wah, mahal.” Jawab teman saya.


Saya jadi tambah emosi dan benci kepada paraTrantib itu. Saya tahu diantra para Trantib itu ada tetanga saya mas Darman. Dan entah kenapa, tiba-tiba rasa dendam muncul dalam benak saya kepada mas Darman. Saya geram langsung pulang sambil membawa tali rapia.


Sesampainya depan kontraka saya tak masuk ke rumah. Saya masuk ke rumah mas Darman. Saya mendapati istri mas Darman sedang menyetrika saat itu. Istri mas Darman sudah tidak asing kepada saya, karena saya saya suka nonton Tv di rumahnya. Saat saya datang dia hanya melirik lalu kembali menyetrika. Tapi saat dia akan menyapa, saya sudah berdiri sebelah kirinya mengayunkan pukulan ke uluhatinya. Nafasnya otomatis jadi sesak, tak bisa berteriak. Dengan cepat kaki dan tangannya saya ikat dengan tali rapia, dan mulutnya saya sumbat kaos yang belum disetrika. Setelah itu dia saya seret ke rumah saya.


Saya kembali ke rumah mas Darman mengambil hand pone yang tergeletak depan TV. Kemudian mas Darman saya SMS.


“Mas nanti jangan pulang ke kontrakan, ya. Soalnya saya mau ke rumah orang tua saya—silaturahmi. aku tunggu kamu di sana, ya?”


Tak lama SMS yang baru di kirim dibalas.


“Nggak apa-apa. Aku juga kengen kepada orang tua kamu. Nanti aku juga ke sana,ya.”


Setelah itu, saya pergi ke Wartel, menelepon mas Darman.


“Mas ini Iwan.”


“Ada apa?” jawab mas Darman.


“Di rumah saya ada cewe ABG, cantik mas.”


“Kenapa memangnya?”


“Dia sedang butuh uang, dan katanya bersedia tidur dengan siapa saja, asal dapet uang.”


“Serius? Berapa butuhnya?”


“50.000, mas. Mau nggak?”


“….., iya, mau Wan. Istri saya benar sudah pergi, kan?”


“Sudah mas, beberapa menit yang lalu. Ditunggu, ya mas.”


“Iya Wan, sebentar lagi saya meluncur.”


Saya menutup telepon, lalu ke kontrakan, mengkemasi pakaian. Lalu dititipkan di Warteg yang jaraknya agak jauh dari kontrakan. “Mau pulang kampung.” Kata saya kepada pemilik Warteg itu. Saya tergopoh kembali ke kontrakan. Takut mas Darman datang saat saya tak ada di tempat. Tapi sampai di sana belum ada tanda mas Darman sudah tiba. Beberapa menit kemudian mas Darman akhirnya datang juga mengendarai motor. Dia menghampiri saya seperti maling takut kepergok. Bajingan!


“Aduh, maaf Wan, saya menangkap ibu kamu karena saya sedang melaksakan tugas.” Kata mas Darman. saya diam, menahan marah.


“Mana, Wan? Jangan-jangan kamu bohong.” Tanya mas Darman.


“Ada di dalam.” Suara saya geram.


Mas Darman melangkahkan kakinya, namun saya menahannya.


“Uangnya dulu, mas.”


“Nanti kalau sudah selesai.”


“Pelaturanya memang begitu, mas.”


“Ah, takut kamu bohong Wan.”


“Terserah, mas. Kalau jadi silahkan. Kalau nggak jadi silahkan pulang.”


Mas Darman diam, mungkin mempertimbangkan pelaturan yang baru saja diucapkan dan dibuat saya.


“iya, deh.” Kata mas Darman sambil merogoh uang lalu diserahkan kepada saya. “Jangan kemana-mana, Wan kalau nggak cocok, uang bisa kembali, kan?” Kata mas Darman.


“Tenang saja, mas. Saya di sini sampai mas selesai.” Jawab saya agak kasar.


Mas Darman masuk ke rumah itu. Dan saat pintu rumah itu ditutup olehnya. Saya mengendap-ngendap menjauh dari tempat berdiri. Lalu lari dari tempat itu menuju tempat berkumpul teman saya, para pengamen. Sesampainya di sana saya menceritakan semuanya kepada mereka. Dan saya minta salah-satu teman saya mengantar saya ke kantor Trantib untuk menembus Ibu saya dengan uang 50.000. teman saya menolak denga alasan takut terlibat permasalahan yang dilakukan saya ke pada istri mas Darman.


Saya berangkat sendiri. Dan berhubng kantor Trantib tak jauh dari tempatr itu. Dalam jangka 40 menit saya sudah tiba depan kantor itu. Namun ketika akan melangkah ke pintu gerbang kanrir itu, dari belakang ada yang memanggil dengan nada yang sangat terdengar marah. Saya melirik serta-merta saya kaget, karena yang memanggil saya mas Darman dengan istrinya. Sekuat tenaga saya lari. Mas Darman pun turun dari motornya, lalu mengejar saya. Lari mas Daeman ternyata lebih cepat dari pada saya. Saya terkejar dan tak berdaya saat mas Darman memukuli saya dan menendang-nendang saya dengan sepatu yang keras. Oaring-oarang di sekitar itu hanya melihat tanpa memperdulikan muka saya biru bonyok meneteskan air mata dan darah dari hidung dan bibir.


Tapi mas Darman sama sekali tidak punya rasa belas kasihan. Sertelah puas menyiksa saya dia menteret saya ke kantor polisi yang tak jauh dari tempat itu.


Plisi yang sedang bertugas langsung bertanya kepada mas Darman. Dan tanpa ada yang ditutupi semua kejadian diceritakan oleh mas Darman kepada polisi itu. Namun ketika mas Darman mengantakan dirinya ditelepon saya, menawarkan seorang wanita kepadanya. Istri mas Darman bengong, kemudian marah. Karena katanya, waktu mas Darman membebaskan dirinya, mas Darman diberi tahu tetangganya.


“Jadi selama ini kamu suka main wanita!” bentak istrinya.


Mas Darman jadi gagap karena baru menyadari di sebelanya ada istrinya, “Ngggaaak ….pppr….”


“Ah…!” kata istrinya sambil menjabaj rasambut mas Darnman, lalu jidatnya dijedotkan ke meja.


“Kita harus cerai!” istrinya pergi sambil menangis.


Mas Dddddarman mewmegang jidat yang baru saja menghantam meja, kemudian lari mengjar istrinya.


Polisi bengong memnatap mas Darman. “Hey… ini bagaimana?” teriak polisi itu. Tapi mas Darman sedikit pun tidak menghiraukanya.


“Kamu, keluar dari tempat ini.” Kata polisi itu kepada saya.


Saya keluar dari kantor polisi itu, lalu ke kosan teman saya. Di kosan itu saya dirawat teman sampai sembuh. Dan setelah sembuh, saya ikut ngamen dengannya. Beberapa hari setelah sembuh saya mendengar kabar dari tetangga kontrakan saya. Mas darman dengan istrinya sudah cerai. Dan selain itu, saya pernah mendengar bahwa mas Darman akan menangkap saya bukan hany mel;aksanakan tugas, tapi masih merasa dendam dan kesal. Tapi saya tidak takut. Saya akan terus menjadi joki sampai {Ibu dikeluarkan, karena dialah te,an saya mencari uang untuk selamanmya.



GRJS_Hall-c









Si Mata Wayang


Joseph Viar Suhendar



Teman Ceppy Andrian alias Si Cepot,nama panggilanya. Setiap malam minggu pekerjaannya balapan liar di Kebon Nanas. Tidak merasa jera dia walaupun pernah kecelakaan. Gila!


Kejadianya waktu itu saat dia mengendarai motor dalam kecepatan tinggi. Dia merogoh hand pone dalam kantong celanannya tanpa menepi terlebih dahulu. Dan menatap layar tampilan hand pone itu tanpa mengurangi kecepatan motornya. Akhirnya blarr…. menabrak sebuah mobil dan ditabrak kendaraan lain dari belakangnya. Dia luka parah sampai kakinya diamputasi di rumah sakit. Lama dia tak sekolah. Yang seharusnya sudah kuliah, sekarang masih kelas 3. Melangkahnya menggunakan tongkat jangka. Dan jika bepergian diantar-jemput oleh sopirnya.


Lama-lama dia jadi merasa terkekang. Karena orang uanya melarang pergi sendirian. Jadi hari-haari si Cepot kebanyakan dihabiskan di rumahnya dari mulai pulang sekolah sampai berangkat sekolah lagi. Bagaimana tidak suntuk, iya, kan?


Kemudian dia usul kepada orangtuanya—minta kakinya yang telah diamputasi disambung dengan yang palsu, dan motornya minta diperbaiki. Tapi orang tuanya tidak menyetujuinya. Takut si Cepot kebut-kebutan lagi, katanya. Mereka hanya membelikan hand phone baru untuknya.


Awalnya si Cepot menerima, karena dengan hand phone itu dia bisa browsing, chating, dan main game. Hampir setiap hari dia chating, memperkenalkan dirinya kepada setiap wanita yang sedang chating saat itu juga. Setiap masuk sekolah bercerita kepada teman-temanya, semalam chating sampai pagi dengan wanita inilah-itulah.


“Cantik, nggak?”Tanya temanya


“Mana gua tahu, bego! Gua kan cathing bukan ngobrol di rumahnya.”


“Dapet nomer hand phone-nya, nggak?”


“Dapet, mau lu? Orang Depok. Elu ada nomer hand phone cewe baru, nggak? Tukeran, yuk.”


“ Ada, Tante-Tante, mau lu? ngomongnya seputar selangkangan terus.”


“Mau, dong!” Si Cepot langsung girang, “yang begitu yang gua cari.”


Akhirnya mereka saling tukar nomer hand phone wanita.


“Kalau Tante-Tante itu nanya, nomer hand phone-nya tahu dari mana, jangan bilang dari gua, ya.”


“Gampang,” kata si Cepot, “tapi kalau cewe Depok itu nanya siapa elu, bilang elu teman gue, Ergi, anak UI, oke!”


“Oke.” Jawab temanya.


Setelah itu, si Cepot langsung SMS si Tante itu. Dan si Tante pun langsung meresponya, malahan dia bilang, “nanti malam telepon aku, ya, jam 12 malam.” Si Cepot tambah girang, pulang sekolah dia langsung membeli pulsa.


Ketika jam 12 malam, si Cepot pun langsung menelepon si Tante itu:


“Nama kamu siapa, sih?” Tanya si Tante itu.


“Andrei,” jawab si Cepot.


“Kamu masih sekolah, ya?”


“Nggak, sudah kuliah, kok, di IKJ.”


“Wah… keren, dong, bisa bikin film?”


“Asal ada dananya.”


“Eh…, kamu kan anak kuliahan. Kamu pernah “begituan” belum dengan cewe,?”


“Begituan, bagaimana?” Tanya si Cepot pura-pura tidak paham.


“Ah… payah kamu! Main kuda-kudaan Berduaan dalam kamar sambil diiringi musik.”


“Oh… belum pernah,” jawab si Cepot.


“Terus kalau kamu mau begituan bagaimana?”


Dasar bego, menjawabnya asal jeplak, tanpa dipikir. “Masturbasi aja,” jawabnya.


Si Tante tertawa, mungkin menertawakan jawaban si Cepot yang sangat polos. “mau dong dengerin kamu masturbasi!”


Si Cepot bahagia sekali mendengar si Tante berkata seperti itu “Serius?” tanyanya.


“Serius!”


“Tunggu 10 menit, aku ke WC dulu, ya.”


Dan memang benar, si Cepot mengapai tongkat jangkanya, lalu pergi ke toilet.


“Tante aku sudah di toilet,” kata si Cepot.


“Ah… sudah, konsentrasi! lakukan saja!”


Si Cepot benar-benar melakukannya.


Dari mulai hari itu si cepot ketagihan, hampir setiap malam dia menelepon si Tante itu. Sampai suatu ketika si Tante berkata, “ketemuan, yuk!”


“Oke,” jawab si Cepot. Tapi setelah menyadari kakinya buntung sebelah, dia jadi ragu. “malu, gua,” katanya, “ini harus disambung dulu agar nggak kelihatan menderita.”


Si Cepot bicara kembali kepada orang tuanya tentang keinginannya itu. Tapi tetap orang tuanya tidak menurutinya, alasanya tidak ada dana. Si Cepot jadi marah, pintu ditendang, meja dibanting, sampai TV-pun dipukul dengan tongkat jangkanya, lalu dia masuk ke dalam kamarnya.


Orang tuanya diam, mempertimbangkan keinginan anaknya. Dan mereka sangat ketakutan si Mata Wayang yang nama panggilnya Cepot itu, melakukan yang tidak-tidak. Akhirnya mereka memutuskan akan memenuhi keinginan anaknya.


Mereka melangkah ke arah kamar si Cepot. Tapi setelah pintu kamar si Cepot didorong, mereka kaget, si Cepot tak ada di kamarnya. Mereka panik dan langsung mencarinya ke setiap ruangan. Pembantunya, sopirnya, tukang kebunnya, semuanya mencarinya. Semua teman-teman si Cepot yang mereka kenal ditelepon, tapi tetap tak ada yang mengetahuinya. Seharian penuh mereka mencari si Cepot. Kata pembantunya yang agak sok tahu, mungkin si Cepot bunuh diri karena malu kakinya buntung sebelah. Ibunya si Cepot tambah panik, sampai dia menangis. Padahal si Cepot bersembunyi dalam lemari pakaianya.


Dia tahu semua orang rumahnya mencarinya. Dan dia juga tahu ibunya kawatir kepadanya. Akhirnya dia keluar dari tempat persembunyianya. Mukanya tenang tidak memperlihatkan bahwa dia mengetahui semua orang rumahnya mencarinya, “ada apaan , sih?” tanyanya kepada orang-orang yang semuanya sedang kebingungan.


“Goblok,” gerutu sopirnya, “dicariin dari tadi ternyata muncul di depan mata.”


Ibunya loncat memeluk si Cepot. “Iya sayang, kami akan memenuhi keinginan kamu.” Kata Ibunya.


Si Cepot nyengir, karena cita-citanya sebentar lagi akan tercapai.


Dan memang benar, dia tidak harus menunggu berbulan-bulan, dalam hitungan minggu semua keinginannya telah terpenuhi. Motornya diperbaiki bukan hanya karena bekas tabrakan, tapi dimodifikasi jadi diceperin,.” Selamat tinggal” kata si Cepot sambil melempar tongkat jangkanya. Padahal tongkat jangka itu selama ini telah membantunya jalan-jalan walaupun hanya di seputar rumah dan sekolahnya.


Cara jalan si Cepot setelah itu mirip penyayi hip-hop berat ke kiri, karena kaki yang disambung sebelah kanan. Lalu mencoba mengendarai motornya. Awalnya hanya di seputar jalan komplek rumahnya. Lalu ke sekolahnya. “Oke, lu. Ada kemajuan,” kata temanya.


“Asal usaha, pasti ada jalanya,” kata si Cepot belagu, sok, memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya yang menurutnya itu tak mungkin bisa dimiliki banyak orang. Dan terlihat sangat percaya diri. Dia merogoh hand phone, lalu menelepon si Tante itu.


“Hallo, sayang, jadi nggak kita ketemuan?”


“Oke, dimana?” jawab si Tante.


“Di Blok m plaza, aja. Jam 3 sore, ya! Aku memakai kaos putih, celana jean panjang.”


Si Cepot pun stand by di blok m plaza sampai si Tante itu datang.


Saat jam 3 lebih beberapa menit si Cepot sedang duduk di loby blok m plaza. Dia kaget ada seorang wanita, pendek, giginya tongos, menyapanya.


“Andrei, ya?” Tanya wanita itu sambil tersenyum, “aku Tante yang sering ditelepon kamu.”


Si Cepot tambah kaget, dia hampir loncat saking kagetnya. “Sialan! Sudah dipanggil sayang teryata cewenya kaya begini.” Kata si Cepot dalam hatinya. Dia diam menatap wanita itu seperti orang terpesona.


“Sayang, kita mau di sini, mau nonton, atau mau main ke kantor aku?”


Si Cepot bingung, jika pertanyaan wanita itu tidak dijawab, atau pergi begitu saja, menurutnya wanita itu akan sakit hati. Tapi jika jalan-jalan dia malu, mungkin orang-orang akan melihatnya seperti menghina sambil berkata, “Sangat serasi sekali, ya.” Akhirnya si Cepot memutuskan untuk pergi bersama wanita itu ke kantornya. Ketika melangkah dari tempat itu menurut perasaan si cepot semua orang memang melihatnya. Si cepot jadi tambah mengkerut. Si kerempeng pincang berduaan dengan seorang wanita tongos. “Bangsat!” Kata si Cepot dalam hatinya. Sedangkan si Tante terlihat sangat santai dan bahagia, dia merasa telah menemukan pujaan hatinya yang selama ini selalu meneleponnya. Dan sepertinya dia tidak mempermasalahkan keadaan si Cepot.


Ketika di perjalanan menuju tempat kerja wanita itu, si Cepot mengira wanita itu bekerja di bank kantor cabang atau di kantor biro jasa. Tenyata wanita itu bekerja di rental play setation. Perasaan si cepot tambah lemes. “Ini tempat kerjaku,” kata wanita itu, “kalau kamu mau main PS—main saja, geratis, kok.” Si Cepot diam, mungkin dia kesal dengan nasibnya. Dia langsung pamitan. Wanita itu sepertinya kecewa dengan tingkah si Cepot. Tapi si Cepot tidak memperdulikanya, dia langsung pergi tanpa dipersilahkan.


Di tengah perjalanan si Cepot membuang kartu perdana hand phone-nya. “Selamat tingal!” Katanya Si Cepot, dia pulang dengan perasaan dongkol.


Hall_C GRJS









GENERASI OF THE THEATER


Joseph Viar Suhendar


Yang saya tahu orang-orang setelah lulus SMA atau kuliah mencari pekerjaan di kantor-kantor. Tapi teman saya yang bernama Yolan, setelah lulus sekolah dia berjanji akan sehidup semati dengan pacarnya yang bernama teater. Setiap hari dia memikirkannya, membayangkan dirinya olah tubuh, olah vocal, bicara sendiri seperti orang gila. Katanya, “teater adalah hidupku, hari-hariku sepi tanpa teater di sisiku. Namun Yolan sendiri, tidak berdiskusi, dan tidak tahu harus kemana dia mengadu jika teater telah membuatnya bosan dan suntuk. Akhirnya dia sering membuat keputusan sendiri, dan itu solusi yang paling baik, menurutnya. Tingkahnya pun berubah dan selalu menyepelekan hasil karya orang lain. Semua pertunjukan teater yang ditontonya, menurutnya pertunjukan itu tak ada rohnya-kurang kompak-kurang “grek”, kurang apalah, pokoknya banyak.


Beberapa bulan yang lalu, sutradara teater yang selalu mengajar di sekolahnya, menyatakan akan berhenti dan sebagai penggantinya: Yolan. Yolan girang sekali, karena sudah merasa mampu. Teman-temannya di SMS—memberi tahu dirinya sudah jadi sutradara. Dan jika bertemu dengan teman-temannya gayanya selagit, sok berpengalaman dan sok memiliki banyak pengetahuan tentang kehidupan.


Jika sdang latihan teater di sekolahnya, galaknya minta ampun apalagi jika ada wanita atau orang banyak menontonnya, galaknya makin menjadi-jadi, muridnya salah sedikit, bukan hanya suaranya yang membentak, tapi berbagai macam binatang dan yang jorok-jorok berhamburan dengan riang dari mulutnya. Dan itu hanya jadi bahan ejekan teman-temannya. Tapi depan Yolan mereka tetap memujinya. Yolan jadi tambah belagu dan jadi suka menyepelekan.


Awalnya teman-teamanya biasa-biasa saja, walau pun mereka tahu Yolan suka over ecting. Namun ada di antara mereka yang merasa telah banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran merasa tak mendapat apa-apa dan dia mengatakan unek-uneknya itu kepada yang lain, otomatis sebagian dari mereka terpengaruh. Lalu satu persatu di antara mereka menjauhi Yolan.


Berhubung Yolan tidak begitu dekat dengan mereka. Dia tidak merasa telah dijauhi teman-temannya. Dia membutuhkan mereka hanya saat akan membuat pertunjukan. Dia hanya berkumpul dengan senior-seniormya. Namun depan senior-seniornya dia tetap songong, minum satu gelas dengan seiormya, kalau berbincang-bincang dia memanggil merek: elu, gua. Senior-seniornya hanya tersenyum, menganggap yolan masih bau kerncur dalam dunia teater. Namun Yolan tidak menyadari permakluman itu, bahkan dia sering mengejek orang-orang lewat dengan kata ‘Ecek-ecek’ bahkan suka menghinanya.


Lama-lama senior-seniornya merasa bosan membing-bingnya. Setiap seniornya berkata, “Kamu harus peka, Yolan! Belajarlah dari sesuatu yang kamu lihat dan kamu rasakan.” Kepala Yolan mengangguk-ngangguk, namun dia menggerutu, “Kata-kata senior gua pasaran banget, dasar kolot. Texs book, lo bang!”


Yolan akhirnya diacuh tak acuhkan oleh semua orang yang mengenal tingkahnya. Dia menyadari adanya hal itu saat dia akan mermbuat pertunjuakan. Semua temanya dari mulai pemusik, lighting man, artistic man, tak ada yang mau mendekatinya. Alasan mereka, sibuk mencari kerja, katanya. Yolan agak kaget, karena teman-temannya dulu sepakat akan selalu membantunya, “Sialan, giliran gua butuh, pada kabur, lo!” katanya.


Tapi walaupun seperti itu, Yolan tetap latihan. Dia menghubungi orang lain untuk membantunya di pertunjukannya nanti, dan dia berani membayarnya dengan tarip yang ditetapkan orang itu—tak ada tawar menawar! Orang yang akan membantu Yolan itu bahagia sekali.


Kata Yolan, “Gua melakukan itu biar orang-orang itu tahu, gua bisa melakukannya tanpa harus ada mereka!”


Padahal untuk membiayainya hasil patungan para pemain teaterya yang semua masih SMA. Sedangkan Yolan sepeser pun tidak mengeluarkan uang untuk itu. Dan pertunjukan itu diadakan bukan berunding dengan para pemain teaternya melainkan hanya keinginan Yolan semata.


Dia bahagia sekali pertunjukannya sukses dari awal sampai akhir. Bukan sukses bagus, tapi sukses tak ada yang menggangunya. Pertunjukannya tetap saja jelek. Dia menyadari pertunjukannya lebih jelek dari sebelumnya. Namun tidak mengurangi tingkah kebelaguannya berkurang. Bahkan saat anak didiknya menjadi juara pembacaan cerpen se-kota madiya. Dia langsung berkata depan teman-temannya. “Siapa dulu sutradaranya, ni bang Yolan! Mau jadi juara? Gabung latihan dengan gua: anak komplek! Elu kumpulnya dengan anak-anak kancil, sih, jadi bego, deh.”


Anak kancil maksudnya anak-anak yang baru bergabung latihan teater. Jika kepada senior-seniornya Yolan memanggilnya “Kiayi Langitan”. Namun seniornya itu tidak menerima dipanggilnya dengan kata itu. Bahkan ada seorang seniornya yang menyumpahinya, “Jika kamu tidak punya rasa sopan-santun. Nanti saat festival kamu nggak bakal jadi juara, Yolan”


“Ah!” gerutu Yolan, “memanggnya yang mengatur nasib di duania ini elu, bang! Senior-senior gua itu kalau ngomong suka seenak lidahnya doang. Padahal umur dengan sekil tuaan umur. Tong kosong!”




GRJS













Lomba panco.


Joseph Viar Suhendar.


Setiap setahun sekali, di kampung mak Iyah suka diadakan lomba panco antar lansia. Namun disetiap pertandingan mak Iyah selalu kalah. Dia malu dan emosi diejek teman-teman sebayanya. Karena saking emosinya mak Iyah pergi ke tempat mak Erot. Niatnya akan berguru ilmu kekuatan kepadanya. Namun sesampainya di tempat mak Erot, mak iyah oleh mak Erot ditertawakan. “Aduh, bu, di sini bukan untuk memperkuat dan dan memperbesar tenaga, tapi di sini untuk memperpanjang “Anu” pria.” Kata mak Erot.


Mak Iyah pun kembali lagi ke kampungnya. Setiap hari dia berdo’a dan berusaha keras agar semua lawan panconya bisa dikalahkan olehnya sendiri. Tapi tetap setiap dia bertanding, dia pasti kalah. Seperti langganan jadi pecundang.


Seoarang tetangganya akhirnya memberi tahu kepadanya bahwa di kampung Gunung Manta Jaya ada seorang anak sakti bisa mengabulkan semua permintaan.


Tanpa berpikir panjang, mak Iyah langsung pergi ke tempat itu. Sesampainya di kampung Gunung Manta Jaya dia bertanya hampir kesetiap orang yang dia temui di perjalanan. Setelah bertanya kepada puluhan orang tentang keberadaan anak itu akhirnya dia menemukannya, nama anak itu Saepuloh. Mak Iyah langsung mengatakan semua keinginannya kepada Saepuloh. Kata Saepuloh ada beberapa sarat yang harus dipenuhi mak Iyah untuk mecapai semua keinginan mak Iyah. Pertama, mak Iyah harus tinggal di rumah saepuloh sampai hari pertandingan panco tiba. Ke dua mak Iyah harus merapihkan setiap sandal dan sepatu para tamu yang datang bertamu ke rumah Saepulloh. Dan ketiga mak Iyah harus menyediakan jamuan kepada para tamu yang datang—tidak ada kata tidak ada—harus ada!


“Ternyata persaratannya gapang,” kata mak Iyah dalam hatinya.


Dalam satu-dua hari mak Iyah menjalankan persaratanya dengan gampang tanpa ada hambatan, karena para tamu yang datang kebanyakan hanya minta air putih. Dan mereka sangat senang melihat sandal dan sepatunya berjajar sesuai dengan nomer antri yang mak Iyah berikan. Nomer antri itu sengaja dibuat mak Iyah agar dia tidak kesulitan memanggil para tamu dan menjaga alat kakinya supaya tidak hilang atau tertukar.


Saepuloh pun merasa bahagia, pekerjaan yang selama ini selalu dikerjakan sendiri jadi terbantu oleh mak Iyah. Dia tinggal duduk di kursi menanti para tamu menghampirinya satu persatu. Lama-lama Saepuloh menjadi sayang kepada mak Iyah. Dia menganggapnya bukan lagi murid yang sedang berguru kepadanya. Tapi dia menganggapnya sebagai Ibunya yang telah meninggal menyusul suaminya yang meninggal secara gaib dibunuh dukun saingannya.


Tapi suatu saat, mak Iyah jadi sangat merasa disepelekan oleh Saepuloh, gara-garanya ada seorang anak tamu yang datang dari kota minta disediakan pizza, dan Saepuloh memaksa mak Iyah harus mencarinya. Mak Iyah kebingungan karena posisinya jauh dari Desa, apalagi Kota. Tapi Saepuloh memaksanya harus mencari pizza tersebut. Mak Iyah diam tak mau berangkat. Saepuloh jadi marah, cara memanggil mak Iyah pun berubah jadi kasar. Biasanya Saepuloh manggil mak Iyah “Ibu” dengan sopan. Tapi saat mak Iyah tidakl melaksanakan perintahnya, Saepuloh memanggil “kamu” sambil melotot. Jelas saja mak Iyah jadi emosi, karena dia datang ke tempat Saepuloh untuk berguru bukan untuk jadi pembantu.


“Sekarang hanya ada dua pilihan buat kamu: tetap tinggal di sini atau pergi saat ini juga!” Kata Saepuloh.


“ Saya ingin menang di saat pertandingan pacnco nanti.”


“Cari barang itu, gobllok!”


Mak Iyah berangkat dengan perasaan kesal. Dia merasa terjajah dan terhina. Apalagi saat Saepuloh membentaknya dengan kata “goblok”, mak Iyah sangat tersinggung sekali. Seorang anak kecil mengatainya dengan yang sangat begitu kasar menurutnya. .


Mak Iyah melangkah dengan perasaan kesal, melewati orang-orang kampung itu yang menatapnya seperti orang asing. Salah satu orang kampung itu yang teriak di tujukan kepada mak Iyah, “kok pembatu si Saepuloh dari kampung lain sih, bukan dari kampung kita, jelek lagi!” Dalam hati mak Iyah marah, sampai dia mengigil menahan marahnya. Tapi dia mencoba menghampiri orang-orang kampung itu, lalu bertanya:


“Ma’af ada yang tahu toko penjual pizza, nggak?”


“Wah, di sini-mah nggak ada. Ada juga pak Ija pembuat sumur,” jawab orang-orang kampung itu sambil cekikikan menertawakan mak Iyah.


“Bajingan!” Kata mak Iyah dalam hatinya, “tampang bego tapi blo’on. Dasar udik!” Mak Iyah berjalan lagi. Dan tak berhenti bertanya kepada orang-orang yang dia lewati. Namun tetap tak menemukan warung pizza itu. Mak Iyah lelah, badanya basah oleh keringat. Karena dia bertanya bukan hanya di kampung itu, tapi di kampung yang lain, yang jaraknya dari kampung satu ke kampung yang lainya berkilo-kilo. Mak Iyah pulang dengan tangan kosong.


Saepuloh tambah marah, “bodoh kamu Iyah, ambil dompet saya di kamar!”


Walaupun tersinggung makIyah melaksanakan juga peritah Saepuloh. Dia mengambil dompet itu, kemudian diserahkan kepada Saepuloh. Saepuloh membuka dompet itu, lalu mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam dompet itu. Mak Iyah menatap bingung, karena bungkusan kecil itu berisi ganja.


“Ini berikan kepada anak itu!” Seru Saepuloh.


“Yang dimaksud anak itu bukan ganja, Saepuloh! Tapi pizza, sebuah makanan yang datangnya dari luar negri yang terbuat dar….,” kata-kata mak Iyah dipotong oleh Saepuloh yang malu karena sebenarnya dia tidak tahu apa pizza itu, apakah chiki snack atau semacam premen yang suka dijual di warung-warung terdekatnya.


Tapi berhubung Saepuloh sudah menempatkan dirinya depan mak Iyah orang yang maha tahu. Dengan kata-kata mak Iyah tadi Saepuloh sangat tersinggung dan terhina. Dia langsung menghukum mak Iyah harus lari 100 balik mengelilingi rumahnya dan setelah itu harus mengecat semua dinding rumahnya. Mak Iyah tambah merasa tersinggung.


Mak Iyah lari mengelilingi rumah Saepuloh tapi baru saja satu putaran, mak Iyah sudah kelelahan. Saepuloh marah melihat mak Iyah berhenti. Dia membentaknya dan kembali menyuruhnya harus lari. “Saya sudah tidak sanggup lagi.” Kata mak Iyah. Dan dia memohon agar saepuloh tidak membentaknya dan jangan menyuruhnya lari kembali. Saepuloh berdahak sambil melihat mak Iyah dengan tatapan menyepelekan. Melihat Saepuloh seperti itu mak Iyah jadi tambah tersinggung, dia teriak memaki Saepuloh sambil melemparkan sandalnya kearah kepala Saepuloh, namun tidak kena. Saepuloh jadi tambah marah melihat mak Iyah bertindak seperti itu. Dia menghampirinya, lalu menendangnya sekuat tenaga. Mak Iyah teriak kesakitan. Saepuloh tidak memperdulikannya, dia menjambak rambut mak Iyah sambil berkata, “Bajingan! Sediakan makanan yang enak sekarang juga!”


Mak Iyah diam dan tak bicara sedikit pun, merasa sakit hati denga perlakuan saepuloh kepadanya.


“Cepat, goblok!” bentak saepuloh sambil mendorongnya sampai mak Iyah tersungkur mencium tanah. Mak Iyah berdiri pelan-pelan, lalu melangkah kearah dapur. “Ini harus dibalas,” kata mak Iyah dalam hatinya.


Tapi mak Iyah bingnung harus dengan cara apa dia membalas dendam kepada Saepuloh. Jika menggunakan Fisik jelas dia tidak akan mampu, dan takut dikeroyok, karena hubungan Saepuloh dengan orang-orang kampynya sangat akrab sekali. Mak iyah berpikir keras sampai dia menemukan sebuah cara untuk membalaskan dendamnya yaitu dengan cara diracun. Namun dia masih kebuingungan—harus diracun dengan apa? Katanya. Kening mak kembali mengkerut. “Oh..., iya!” Maki yah mendadak sumrimgah: “Dengan tahi kerbau!”


Mak Iyah langsung membeli telor sambil mengambil jamur tahi kerbau di kandang kerbau yang ketaknya di kebun belakang rumah Saepuloh. Tanpa dibasuh telor itu langsung diiris, kemudian diaduk dengan telor, kemudian digoreng. Setelah matang kemudian dihidangkan di meja makan bersama lauk-pauk lainnya. “Saepuloh, nasinya sudah mateng!” Panggil mak Iyah.


Mungkin Saepuloh lapar, nasi dan lauk-pauk itu habis olehnya sendiri, apalagi goreng jamur tahi kerbau, tak tersisa sedikit pun. “Kenyang sekali,” kata Saepuloh sambil mengisap rokonya, matanya terlihat sepeti ngantuk.


“Beberapa menit lagi racun itu akan berpungsi,” kata mak Iyah dalam hatinya. Dia terus memperhatikan Saepuloh yang tingkahnya berubah seperti orang telah minum alkhol: bicara sendiri dan sempoyongan sambil teriak-teriak.


Mak Iyah jadi panik, dia takut orang-orang kampung mendengarnya. Dia mengambil balok, lalu dipukulkan kekepala Saepuloh. Saepuloh tidak bisa menahan keseimbangan badanya dan terus berteriak-teriak semakin keras.


Mak Iyah semakin ketakutan. Dia keluar dari rumah, lalu lari meninggalkan tempat itu. Setiap ada orang yang bertanya, “mau kemana?” mak Iyah selalu menjawab, “ saya mau pulang kampung, tidak betah. Dan memang benar mak Iyah pulang ke kampunya.


Sesampainya di kampungya, awalnya ma iyah disegani oleh lawan-lawan panconya. Sebagian orang menjagokan mak Iyah pada pertandingan panco berikutnya. Namun mak Iyah menjelaskan semuanya kepada para tetangganya, dan dia memutuskan tidak ikut lagi bertanding di pertandingan berikutnya. Akhirnya para tetangganya terutanma para lansia member ijin pensiun kepada mak Iyah.



GRJS









SENIMAN GAGAL


Joseph Viar Suhendar


Sudah pernah mendengarkan kejelekan orang lain, belum? Jika belum, sekarang saya akan menceritakan kegoblokan teman saya sendiri. Tapi jangan diceritakan lagi kepada orang lain, karena ini menyangkut nama baik teater Indonesia di mata dunia.


Ceritanya begini, kelompok teater yang disutradarai mas Ogi baru menyelesaikan shooting-nya waktu itu. Kasihan dia, membuat film dananya minim, karena yang membiayai pembuatan film tersebut hanya mas Ogi sendiri. Ditipu lagi oleh teman saya Iksan.


Iksan ditunjuk mas Ogi sebagai seksi konsumsi, dia ngambek karena honor yang akan diterimanya hanya 100.000. ”Malu gua. Harga diri gua mau dikemanain? Gua kan lulusa sinema tografi, masa gua jadi seksi konsumsi. Honornya kecil lagi.” Kata Iksan. Padahal bohong, dia bukan lulusan sinema tografi, dia hanya lulusan ”S1” di kampungnya. ”S1”, maksudnya SD doang! Cuma Iksan suka berbohong dan rasa gengsinya tinggi. Baru punya sepeda mengakunya sudah punya motor.


Kok motornya nggak dibawa, Ksan?” Tanya temannya.


Males, boros bensin. Kemarin baru dimodif, dibikin seperti motor Valentino Rosi. Berat banget, disimpan aja di rumah,” jawabnya sambil melirik ke arah saya, lalu berbisik, ”Gua harus nyari duit agar kata-kata gua barusan jadi kenyataan.”


Buset! Kata saya dalam hati, saya kira kata-katanya itu benar, ternyata bohong juga. Dilibatkan dirinya dalam pembuatan film itu, harapannya akan mendapat honor besar. Ternyata harapannya tidak sesuai dengan kenyataan, dan mas Ogi memberi tugas kepadanya hanya penyedia makanan saat shooting. Namun sebelum hari shooting tiba, Iksan oleh mas Ogi disuruh membeli property untuk kebutuhan adegan.


Ini kesempatan!” Kata Iksan. Niatnya dia akan korupsi. Dan niat itu memang sudah direncanakan dari sebelumnya. Karena dia yakin, nanti uang untuk membeli konsumsi pasti akan diserahkan kepadanya.


Kata Irfan, astradanya mas Ogi, “’Ksan honor kamu kan kecil, nanti belanja barang-barang tawar semurah mungkin. Kalau dari toko harga satu barangnya 10.000, tulis saja harga barang itu di buku laporan 20.000, atau berapalah, yang penting dilebihin.”


Iksan lansung membentak, “Tingkah kamu sama seperti Rejim Orde-baru juga, ‘saya nggak bakal melakukan itu. Saya bosan dengan tingkah-tingkah seperti itu.”


Irfan langsung pergi. ”Muak,” katanya mendengar Iksan berbicara seperti itu—sok’ alim.


Ketika mas Ogi memberikan uang untuk belanja property, disitulah awal Iksan merencanakan dirinya untuk membohongi mas Ogi dalam masalah harga. Bahkan titipan uang untuk Irfan dari mas Ogi sebesar 50.000, sampainya ke tangan Irfan bukan 50.000, tapi 20.000. Irfan marah-marah awalnya, dia menyangka mas Ogi menghianati perjanjian uang awal yang akan diberikan kepadanya. Tapi setelah menyadari dana produksi film itu minim, akhirnya Irfan menerima juga uang itu dengan lapang dada, karena dia menyangka uang 20.000 itu memang sejujurnya dari mas Ogi.


Mas Oginya dimana?” Tanya Irfan.


Iksan agak salah tingkah, dan tidak menjawab, “saya ke mushola dulu, ya.” Katanya sambil pergi. Irfannya diam menatap Iksan pergi, dan dia stand by di tempat itu menanti Iksan kembali lagi. Padahal Iksan tidak ke mushola, dia pergi belanja ke Pasar pagi.


Saat belanja, dia jago sekali tawar-menawar harga dan selalu menang.


Ini berapa, Bang?”


20.000,” jawab penjual itu.


5000, saja!” tawar Iksan


Wah, nggak bisa, mas. Kaya jaman Suharto saja harga barang begini 5000!”


Iksan langsung pergi, pura-pura tidak membutuhkan. Penjual barang itu tiba-tiba berkata, “10.000, saja, mas.” Iksan pura-pura tidak mendengar. “Ya, sudah, bayar, ni, mas!” teriak penjual itu. Iksan tersenyum puas karena bisa mendapatkan barang itu dengan harga yang diinginkannya.


Pakai nota, ya, Bang!” kata Iksan, “Di nota harganya jangan ditulis 5000, tapi 15000, ya!” penjual itu menatap Iksan, sepertinya dia tahu Iksan akan berbuat curang. Tapi dia menuruti juga perintah Iksan.


Lama-lama keretas nota yang diterima Iksan jadi banyak, karena belanjanya bukan hanya di Pasar Pagi. Tapi di Pasar Senin, di Kebayoran, dan di Blok m,


Lalu dia menghitung jumlah uang pada keretas nota itu. Jelas saja jumlah uang jadi lebih besar dari sebelumnya. Mas Ogi memberikan uang untuk belanja waktu itu, 500.000, setelah Iksan menjumlah angka uang pada setiap keretas nota itu, jumlahnya jadi, 700.000 “Lumayan untung 200.000,” kata Iksan.


Ketika barang-barang hasil belanja dan sejumlah keretas nota itu diserahkan kepada mas Ogi. Mas Ogi kaget.


Kok, jumlahnya jadi lebih?” Tanya mas Ogi sambil menghitung kembali tiap jumlah uang pada keretas nota tersebut.


Harga barang-barang sekarang naik,” jawab Iksan, “biasa, harga BBM kan ngefek ke segala macam.”


Anjing, ya! Pedagang-pedagang sekarang, harga BBM naik harga barang-barang jualannya dinaikin juga.” Kata mas Ogi, mungkin dia kesal karena dananya tinggal sedikit.


Iksan terlihat agak gerogi.


Yang 200.000-nya uang siapa?” Tanya mas Ogi.


Uang saya,”jawab Iksan agak gagap. Mas Ogi mengambil uang dari dompetnya, lalu diserahkan kepada Iksan. Tangan Iksan terlihat gemetar menerima uang itu, tapi dia tersenyum sambil berbisik kepada saya, “Mampus lo, gua tipu!”


Gila!


Dan dia tidak merasa ada rasa belas kasihan sedikit pun. Sudah tahu dana mas Ogi sedikit lagi, masih saja dia tipu.


Saat shooting Iksan kan dipercaya sebagai penanggung jawab konsumsi. Dari penjualnya harga nasi satu box-nya itu 10.000, eh… kata Iksan kepada mas Ogi, harga nasi satu box dari penjualnya 12500. Tanpa berpikir panjang mas Ogi pun langsung memesan 100 box untuk per-satu kali shooting. Lama shooting 7 hari. Untung besar Iksan, 2500 X 700 = 1750.000 + 200.000, dari hasil tipuannya pada waktu belanja, jadi jumlahnya, 1950.000 + 100.000, honor aslinya, jadi jumlah keseluruhanya adalah 2050.000.


Dan gobloknya Iksan, setelah shooting usai, dia mencuri hand pone milik pemain film itu. Tapi ketahuan, dia dihajar dan diusir saat itu juga.


Tapi tidak merasa kapok. Waktu latihan teater, dia mencuri lagi hand pone milik temannya. Temanya itu marah-marah setelah mengetahui hand phone-nya hilang, semua tas yang ada di tempat itu diperiksa olehnya satu persatu. Iksan panik, takut tasnya diperiksa, karena hand phone hasil curianya ada dalam tasnya. Dengan cepat dia mengambil tasnya, lalu bersembunyi di mushola.


Setelah terlihat di luar mushola aman. Dia keluar dari mushola itu. Ada sepatu mahal yang pemiliknya sedang menunaikan shalat waktu itu. Dasar mental maling, sepatu itu dicuri oleh Iksan.


Teman-temannya Iksan semuannya sepakat bahwa yang mencuri hand pone itu adalah Iksan, karena pada waktu pemeriksaan tas, Iksan sudah tidak ada di tempat dengan tasnya. Dan mereka sepakat, jika suatu saat Iksan ada di tempat latihan, mereka akan menghajarnya. Tapi sayang, Iksan tidak latihan teater lagi.


Kata Iksan, “malas latihan teater, nggak ada duitnya.”


Sekarang saya juga sedang mencarinya, karena dia masih punya utang kepada saya. Saat dia belanja atau pulang-pergi karena disuruh mas Ogi, saya berperan jadi tujang ojek untuknya. Jika ada yang melihatnya, tolong hubungi saya, ya!



Hall_c. GRJS


Nama: Joseph Viar Suhendar


Alamat: Jati Padang Pasar Minggu


No Hp: 081384777920







Rabu, 29 April 2009

Si Mata Wayang
Joseph Viar Suhendar

Teman Ceppy Andrian alias Si Cepot,nama panggilanya. Setiap malam minggu pekerjaannya balapan liar di Kebon Nanas. Tidak merasa jera dia walaupun pernah kecelakaan. Gila!
Kejadianya waktu itu saat dia mengendarai motor dalam kecepatan tinggi. Dia merogoh hand pone dalam kantong celanannya tanpa menepi terlebih dahulu. Dan menatap layar tampilan hand pone itu tanpa mengurangi kecepatan motornya. Akhirnya blarr…. menabrak sebuah mobil dan ditabrak kendaraan lain dari belakangnya. Dia luka parah sampai kakinya diamputasi di rumah sakit. Lama dia tak sekolah. Yang seharusnya sudah kuliah, sekarang masih kelas 3. Melangkahnya menggunakan tongkat jangka. Dan jika bepergian diantar-jemput oleh sopirnya.
Lama-lama dia jadi merasa terkekang. Karena orang uanya melarang pergi sendirian. Jadi hari-haari si Cepot kebanyakan dihabiskan di rumahnya dari mulai pulang sekolah sampai berangkat sekolah lagi. Bagaimana tidak suntuk, iya, kan?
Kemudian dia usul kepada orangtuanya—minta kakinya yang telah diamputasi disambung dengan yang palsu, dan motornya minta diperbaiki. Tapi orang tuanya tidak menyetujuinya. Takut si Cepot kebut-kebutan lagi, katanya. Mereka hanya membelikan hand phone baru untuknya.
Awalnya si Cepot menerima, karena dengan hand phone itu dia bisa browsing, chating, dan main game. Hampir setiap hari dia chating, memperkenalkan dirinya kepada setiap wanita yang sedang chating saat itu juga. Setiap masuk sekolah bercerita kepada teman-temanya, semalam chating sampai pagi dengan wanita inilah-itulah.
“Cantik, nggak?”Tanya temanya
“Mana gua tahu, bego! Gua kan cathing bukan ngobrol di rumahnya.”
“Dapet nomer hand phone-nya, nggak?”
“Dapet, mau lu? Orang Depok. Elu ada nomer hand phone cewe baru, nggak? Tukeran, yuk.”
“ Ada, Tante-Tante, mau lu? ngomongnya seputar selangkangan terus.”
“Mau, dong!” Si Cepot langsung girang, “yang begitu yang gua cari.”
Akhirnya mereka saling tukar nomer hand phone wanita.
“Kalau Tante-Tante itu nanya, nomer hand phone-nya tahu dari mana, jangan bilang dari gua, ya.”
“Gampang,” kata si Cepot, “tapi kalau cewe Depok itu nanya siapa elu, bilang elu teman gue, Ergi, anak UI, oke!”
“Oke.” Jawab temanya.
Setelah itu, si Cepot langsung SMS si Tante itu. Dan si Tante pun langsung meresponya, malahan dia bilang, “nanti malam telepon aku, ya, jam 12 malam.” Si Cepot tambah girang, pulang sekolah dia langsung membeli pulsa.
Ketika jam 12 malam, si Cepot pun langsung menelepon si Tante itu:
“Nama kamu siapa, sih?” Tanya si Tante itu.
“Andrei,” jawab si Cepot.
“Kamu masih sekolah, ya?”
“Nggak, sudah kuliah, kok, di IKJ.”
“Wah… keren, dong, bisa bikin film?”
“Asal ada dananya.”
“Eh…, kamu kan anak kuliahan. Kamu pernah “begituan” belum dengan cewe,?”
“Begituan, bagaimana?” Tanya si Cepot pura-pura tidak paham.
“Ah… payah kamu! Main kuda-kudaan Berduaan dalam kamar sambil diiringi musik.”
“Oh… belum pernah,” jawab si Cepot.
“Terus kalau kamu mau begituan bagaimana?”
Dasar bego, menjawabnya asal jeplak, tanpa dipikir. “Masturbasi aja,” jawabnya.
Si Tante tertawa, mungkin menertawakan jawaban si Cepot yang sangat polos. “mau dong dengerin kamu masturbasi!”
Si Cepot bahagia sekali mendengar si Tante berkata seperti itu “Serius?” tanyanya.
“Serius!”
“Tunggu 10 menit, aku ke WC dulu, ya.”
Dan memang benar, si Cepot mengapai tongkat jangkanya, lalu pergi ke toilet.
“Tante aku sudah di toilet,” kata si Cepot.
“Ah… sudah, konsentrasi! lakukan saja!”
Si Cepot benar-benar melakukannya.
Dari mulai hari itu si cepot ketagihan, hampir setiap malam dia menelepon si Tante itu. Sampai suatu ketika si Tante berkata, “ketemuan, yuk!”
“Oke,” jawab si Cepot. Tapi setelah menyadari kakinya buntung sebelah, dia jadi ragu. “malu, gua,” katanya, “ini harus disambung dulu agar nggak kelihatan menderita.”
Si Cepot bicara kembali kepada orang tuanya tentang keinginannya itu. Tapi tetap orang tuanya tidak menurutinya, alasanya tidak ada dana. Si Cepot jadi marah, pintu ditendang, meja dibanting, sampai TV-pun dipukul dengan tongkat jangkanya, lalu dia masuk ke dalam kamarnya.
Orang tuanya diam, mempertimbangkan keinginan anaknya. Dan mereka sangat ketakutan si Mata Wayang yang nama panggilnya Cepot itu, melakukan yang tidak-tidak. Akhirnya mereka memutuskan akan memenuhi keinginan anaknya.
Mereka melangkah ke arah kamar si Cepot. Tapi setelah pintu kamar si Cepot didorong, mereka kaget, si Cepot tak ada di kamarnya. Mereka panik dan langsung mencarinya ke setiap ruangan. Pembantunya, sopirnya, tukang kebunnya, semuanya mencarinya. Semua teman-teman si Cepot yang mereka kenal ditelepon, tapi tetap tak ada yang mengetahuinya. Seharian penuh mereka mencari si Cepot. Kata pembantunya yang agak sok tahu, mungkin si Cepot bunuh diri karena malu kakinya buntung sebelah. Ibunya si Cepot tambah panik, sampai dia menangis. Padahal si Cepot bersembunyi dalam lemari pakaianya.
Dia tahu semua orang rumahnya mencarinya. Dan dia juga tahu ibunya kawatir kepadanya. Akhirnya dia keluar dari tempat persembunyianya. Mukanya tenang tidak memperlihatkan bahwa dia mengetahui semua orang rumahnya mencarinya, “ada apaan , sih?” tanyanya kepada orang-orang yang semuanya sedang kebingungan.
“Goblok,” gerutu sopirnya, “dicariin dari tadi ternyata muncul di depan mata.”
Ibunya loncat memeluk si Cepot. “Iya sayang, kami akan memenuhi keinginan kamu.” Kata Ibunya.
Si Cepot nyengir, karena cita-citanya sebentar lagi akan tercapai.
Dan memang benar, dia tidak harus menunggu berbulan-bulan, dalam hitungan minggu semua keinginannya telah terpenuhi. Motornya diperbaiki bukan hanya karena bekas tabrakan, tapi dimodifikasi jadi diceperin,.” Selamat tinggal” kata si Cepot sambil melempar tongkat jangkanya. Padahal tongkat jangka itu selama ini telah membantunya jalan-jalan walaupun hanya di seputar rumah dan sekolahnya.
Cara jalan si Cepot setelah itu mirip penyayi hip-hop berat ke kiri, karena kaki yang disambung sebelah kanan. Lalu mencoba mengendarai motornya. Awalnya hanya di seputar jalan komplek rumahnya. Lalu ke sekolahnya. “Oke, lu. Ada kemajuan,” kata temanya.
“Asal usaha, pasti ada jalanya,” kata si Cepot belagu, sok, memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya yang menurutnya itu tak mungkin bisa dimiliki banyak orang. Dan terlihat sangat percaya diri. Dia merogoh hand phone, lalu menelepon si Tante itu.
“Hallo, sayang, jadi nggak kita ketemuan?”
“Oke, dimana?” jawab si Tante.
“Di Blok m plaza, aja. Jam 3 sore, ya! Aku memakai kaos putih, celana jean panjang.”
Si Cepot pun stand by di blok m plaza sampai si Tante itu datang.
Saat jam 3 lebih beberapa menit si Cepot sedang duduk di loby blok m plaza. Dia kaget ada seorang wanita, pendek, giginya tongos, menyapanya.
“Andrei, ya?” Tanya wanita itu sambil tersenyum, “aku Tante yang sering ditelepon kamu.”
Si Cepot tambah kaget, dia hampir loncat saking kagetnya. “Sialan! Sudah dipanggil sayang teryata cewenya kaya begini.” Kata si Cepot dalam hatinya. Dia diam menatap wanita itu seperti orang terpesona.
“Sayang, kita mau di sini, mau nonton, atau mau main ke kantor aku?”
Si Cepot bingung, jika pertanyaan wanita itu tidak dijawab, atau pergi begitu saja, menurutnya wanita itu akan sakit hati. Tapi jika jalan-jalan dia malu, mungkin orang-orang akan melihatnya seperti menghina sambil berkata, “Sangat serasi sekali, ya.” Akhirnya si Cepot memutuskan untuk pergi bersama wanita itu ke kantornya. Ketika melangkah dari tempat itu menurut perasaan si cepot semua orang memang melihatnya. Si cepot jadi tambah mengkerut. Si kerempeng pincang berduaan dengan seorang wanita tongos. “Bangsat!” Kata si Cepot dalam hatinya. Sedangkan si Tante terlihat sangat santai dan bahagia, dia merasa telah menemukan pujaan hatinya yang selama ini selalu meneleponnya. Dan sepertinya dia tidak mempermasalahkan keadaan si Cepot.
Ketika di perjalanan menuju tempat kerja wanita itu, si Cepot mengira wanita itu bekerja di bank kantor cabang atau di kantor biro jasa. Tenyata wanita itu bekerja di rental play setation. Perasaan si cepot tambah lemes. “Ini tempat kerjaku,” kata wanita itu, “kalau kamu mau main PS—main saja, geratis, kok.” Si Cepot diam, mungkin dia kesal dengan nasibnya. Dia langsung pamitan. Wanita itu sepertinya kecewa dengan tingkah si Cepot. Tapi si Cepot tidak memperdulikanya, dia langsung pergi tanpa dipersilahkan.
Di tengah perjalanan si Cepot membuang kartu perdana hand phone-nya. “Selamat tingal!” Katanya Si Cepot, dia pulang dengan perasaan dongkol.
Hall_C GRJS

Pentan
Rasa sakit oleh sebab dipukul atau ditampar mungkin akan sembuh dalam waktu beberapa minggu. Tapi rasa dendam, itu terus menusuk, membuat saya terus berpikir, mencari jalan untuk membalasnya. Kamu tahu kenapa saya berkata seperti itu?
Ceritanya waktu itu, saaya dengan Ibu saya sedang menjadi Joki. Tiba-tiba datang segerombolan Trantib yang akan menangkap para Joki. Saya dengan Ibu saya panik langsung lari, tapi berhubung lari Ibu saya tidak secepat saya. Ibu saya tertangkap.
Awalnya saya mengira Ibu saya lolos, tapi sampai magrib tiba saya mencarinya tak kunjung ketemu. Saya mendadak tak mau melakukan apa-apa. Maklum saya agak manja. Terpaksa menjadi Joki semenjak ayah saya meningal tertabrak metromini depan terminal. Dan setelah Ibu terangkap, saya jadi kebingungan.
“Kalau ditebus, berapa, ya?” Tanya saya kepada salah satu teman.
“Wah, mahal.” Jawab teman saya.
Saya jadi tambah emosi dan benci kepada paraTrantib itu. Saya tahu diantra para Trantib itu ada tetanga saya mas Darman. Dan entah kenapa, tiba-tiba rasa dendam muncul dalam benak saya kepada mas Darman. Saya geram langsung pulang sambil membawa tali rapia.
Sesampainya depan kontraka saya tak masuk ke rumah. Saya masuk ke rumah mas Darman. Saya mendapati istri mas Darman sedang menyetrika saat itu. Istri mas Darman sudah tidak asing kepada saya, karena saya sudah tidak asing kepada saya karena saya suka nonton Tv di rumahnya. Saat saya datang dia hanya melirik lalu kembali menyetrika. Tapi saat dia akan menyapa, saya sudah berdiri sebelah kirinya mengayunkan pukulan ke uluhatinya. Nafasnya otomatis jadi sesak, tak bisa berteriak. Dengan cepat kaki dan tangannya saya ikat dengan tali rapia, dan mulutnya saya sumbat kaos yang belum disetrika. Setelah itu dia saya seret ke rumah saya.
Saya kembali ke rumah mas Darman mengambil hand pone yang tergeletak depan TV. Kemudian mas Darman saya SMS.
“Mas nanti jangan pulang ke kontrakan, ya. Soalnya saya mau ke rumah orang tua saya—silaturahmi. Aaku tunggu kamu di sana, ya?”
Tak lama SMS yang baru di kirim dibalas.
“Nggak apa-apa. Aku juga kengen kepada orang tua kamu. Nanti aku juga ke sana,ya.”
Setelah itu, saya pergi ke Wartel, menelepon mas Darman.
“Mas ini Iwan.”
“Ada apa?” jawab mas Darman.
“Di rumah saya ada cewe ABG, cantik mas.”
“Kenapa memangnya?”
“Dia sedang butuh uang, dan katanyabersedia tidur dengan siapa saja, asal dapet uang.”
“Serius? Berapa butuhnya?”
“50.000, mas. Mau nggak?”
“….., iya, mau Wan. Istri saya benar sudah pergi, kan?”
“Sudah mas, beberapa menit yang lalu. Situnggu, ya mas.”
“Iya Wan, sebentar lagi saya meluncur.”
Saya menutup telepon, lalu ke kontrakan, mengkemasi pakaian. Pakaian yang sudah dikemasi itu saya titipkan di Warteg yang jaraknya agak jauh dari kontrakan. “Mau pulang kampong.” Kata sayakepada pemilik Warteg itu. Lau saya tergopoh kembali ke kontrakan. Takut mas Darman datang saat saya tak ada di tempat. Tapi sampai di sana mas belum ada tanda mas Darman sudah tiba. Beberapa menit kemudian mas Darman akhirnya datang juga mengendarai motor. Dia menghampiri saya seperti maling takut kepergok. Bajingan!
“Aduh, maaf Wan, saya menangkap ibu kamu ksrens saya sedang melaksakan tugas.” Kata mas Darman. saya diam, tak menjawab menahan marah.
“Mana, Wan? Jangan-jangan kamu bohong.” Tanya mas Darman.
“Ada di dalam.” Suara saya geram.
Mas Darman melangkahkan kakinya, namun saya menahannya.
“Uangnya dulu, mas.”
“Nanti kalau sudah selesai.”
“Pelaturanya memang begitu, mas.”
“Ah, takut kamu bohong Wan.”
“Terserah, mas. Kalau jadi silahkan. Kalau nggak jadi silahkan pulang.”
Mas Darman diam, mungkin mempertimbangkan pelaturan yang baru saja diucapkan dan dibuat saya.
“iya, deh.” Kata mas Darman sambil merogoh uang lalu diserahkan kepada saya. “Jangan kemana-mana, Wan kalau nggak cocok, uang bisa kembali, kan?” Kata mas Darman.
“Tenang saja, mas. Saya di sini sampai mas selesai.” Jawab saya agak kasar.
Mas Darman masuk ke rumah itu. Dan saat pintu rumah itu ditutup olehnya. Saya mengendap-ngendap menjauh dari tempat berdiri. Lalu lari dari tempat itu menuju tempat berkumpul teman saya, para pengamen. Sesampainya di sana saya menceritakan semuanya kepada mereka. Dan saya minta salah-satu teman saya mengantar saya ke kantor Trantib untuk menembus Ibu saya dengan uang 50.000. teman saya menolak denga alasan takut terlibat permasalahan yang dilakukan saya ke pada istri mas Darman.
SENIMAN GAGAL
Joseph Viar Suhendar
Sudah pernah mendengarkan kejelekan orang lain, belum? Jika belum, sekarang saya akan menceritakan kegoblokan teman saya sendiri. Tapi jangan diceritakan lagi kepada orang lain, karena ini menyangkut nama baik teater Indonesia di mata dunia.
Ceritanya begini, kelompok teater yang disutradarai mas Ogi baru menyelesaikan shooting-nya waktu itu. Kasihan dia, membuat film dananya minim, karena yang membiayai pembuatan film tersebut hanya mas Ogi sendiri. Ditipu lagi oleh teman saya Iksan.
Iksan ditunjuk mas Ogi sebagai seksi konsumsi, dia ngambek karena honor yang akan diterimanya hanya 100.000. ”Malu gua. Harga diri gua mau dikemanain? Gua kan lulusa sinema tografi, masa gua jadi seksi konsumsi. Honornya kecil lagi.” Kata Iksan. Padahal bohong, dia bukan lulusan sinema tografi, dia hanya lulusan ”S1” di kampungnya. ”S1”, maksudnya SD doang! Cuma Iksan suka berbohong dan rasa gengsinya tinggi. Baru punya sepeda mengakunya sudah punya motor.
”Kok motornya nggak dibawa, Ksan?” Tanya temannya.
”Males, boros bensin. Kemarin baru dimodif, dibikin seperti motor Valentino Rosi. Berat banget, disimpan aja di rumah,” jawabnya sambil melirik ke arah saya, lalu berbisik, ”Gua harus nyari duit agar kata-kata gua barusan jadi kenyataan.”
Buset! Kata saya dalam hati, saya kira kata-katanya itu benar, ternyata bohong juga. Dilibatkan dirinya dalam pembuatan film itu, harapannya akan mendapat honor besar. Ternyata harapannya tidak sesuai dengan kenyataan, dan mas Ogi memberi tugas kepadanya hanya penyedia makanan saat shooting. Namun sebelum hari shooting tiba, Iksan oleh mas Ogi disuruh membeli property untuk kebutuhan adegan.
”Ini kesempatan!” Kata Iksan. Niatnya dia akan korupsi. Dan niat itu memang sudah direncanakan dari sebelumnya. Karena dia yakin, nanti uang untuk membeli konsumsi pasti akan diserahkan kepadanya.
Kata Irfan, astradanya mas Ogi, “’Ksan honor kamu kan kecil, nanti belanja barang-barang tawar semurah mungkin. Kalau dari toko harga satu barangnya 10.000, tulis saja harga barang itu di buku laporan 20.000, atau berapalah, yang penting dilebihin.”
Iksan lansung membentak, “Tingkah kamu sama seperti Rejim Orde-baru juga, ‘saya nggak bakal melakukan itu. Saya bosan dengan tingkah-tingkah seperti itu.”
Irfan langsung pergi. ”Muak,” katanya mendengar Iksan berbicara seperti itu—sok’ alim.
Ketika mas Ogi memberikan uang untuk belanja property, disitulah awal Iksan merencanakan dirinya untuk membohongi mas Ogi dalam masalah harga. Bahkan titipan uang untuk Irfan dari mas Ogi sebesar 50.000, sampainya ke tangan Irfan bukan 50.000, tapi 20.000. Irfan marah-marah awalnya, dia menyangka mas Ogi menghianati perjanjian uang awal yang akan diberikan kepadanya. Tapi setelah menyadari dana produksi film itu minim, akhirnya Irfan menerima juga uang itu dengan lapang dada, karena dia menyangka uang 20.000 itu memang sejujurnya dari mas Ogi.
“Mas Oginya dimana?” Tanya Irfan.
Iksan agak salah tingkah, dan tidak menjawab, “saya ke mushola dulu, ya.” Katanya sambil pergi. Irfannya diam menatap Iksan pergi, dan dia stand by di tempat itu menanti Iksan kembali lagi. Padahal Iksan tidak ke mushola, dia pergi belanja ke Pasar pagi.
Saat belanja, dia jago sekali tawar-menawar harga dan selalu menang.
“Ini berapa, Bang?”
“20.000,” jawab penjual itu.
“5000, saja!” tawar Iksan
“Wah, nggak bisa, mas. Kaya jaman Suharto saja harga barang begini 5000!”
Iksan langsung pergi, pura-pura tidak membutuhkan. Penjual barang itu tiba-tiba berkata, “10.000, saja, mas.” Iksan pura-pura tidak mendengar. “Ya, sudah, bayar, ni, mas!” teriak penjual itu. Iksan tersenyum puas karena bisa mendapatkan barang itu dengan harga yang diinginkannya.
“Pakai nota, ya, Bang!” kata Iksan, “Di nota harganya jangan ditulis 5000, tapi 15000, ya!” penjual itu menatap Iksan, sepertinya dia tahu Iksan akan berbuat curang. Tapi dia menuruti juga perintah Iksan.
Lama-lama keretas nota yang diterima Iksan jadi banyak, karena belanjanya bukan hanya di Pasar Pagi. Tapi di Pasar Senin, di Kebayoran, dan di Blok m,
Lalu dia menghitung jumlah uang pada keretas nota itu. Jelas saja jumlah uang jadi lebih besar dari sebelumnya. Mas Ogi memberikan uang untuk belanja waktu itu, 500.000, setelah Iksan menjumlah angka uang pada setiap keretas nota itu, jumlahnya jadi, 700.000 “Lumayan untung 200.000,” kata Iksan.
Ketika barang-barang hasil belanja dan sejumlah keretas nota itu diserahkan kepada mas Ogi. Mas Ogi kaget.
“Kok, jumlahnya jadi lebih?” Tanya mas Ogi sambil menghitung kembali tiap jumlah uang pada keretas nota tersebut.
“Harga barang-barang sekarang naik,” jawab Iksan, “biasa, harga BBM kan ngefek ke segala macam.”
“Anjing, ya! Pedagang-pedagang sekarang, harga BBM naik harga barang-barang jualannya dinaikin juga.” Kata mas Ogi, mungkin dia kesal karena dananya tinggal sedikit.
Iksan terlihat agak gerogi.
“Yang 200.000-nya uang siapa?” Tanya mas Ogi.
“Uang saya,”jawab Iksan agak gagap. Mas Ogi mengambil uang dari dompetnya, lalu diserahkan kepada Iksan. Tangan Iksan terlihat gemetar menerima uang itu, tapi dia tersenyum sambil berbisik kepada saya, “Mampus lo, gua tipu!”
Gila!
Dan dia tidak merasa ada rasa belas kasihan sedikit pun. Sudah tahu dana mas Ogi sedikit lagi, masih saja dia tipu.
Saat shooting Iksan kan dipercaya sebagai penanggung jawab konsumsi. Dari penjualnya harga nasi satu box-nya itu 10.000, eh… kata Iksan kepada mas Ogi, harga nasi satu box dari penjualnya 12500. Tanpa berpikir panjang mas Ogi pun langsung memesan 100 box untuk per-satu kali shooting. Lama shooting 7 hari. Untung besar Iksan, 2500 X 700 = 1750.000 + 200.000, dari hasil tipuannya pada waktu belanja, jadi jumlahnya, 1950.000 + 100.000, honor aslinya, jadi jumlah keseluruhanya adalah 2050.000.
Dan gobloknya Iksan, setelah shooting usai, dia mencuri hand pone milik pemain film itu. Tapi ketahuan, dia dihajar dan diusir saat itu juga.
Tapi tidak merasa kapok. Waktu latihan teater, dia mencuri lagi hand pone milik temannya. Temanya itu marah-marah setelah mengetahui hand phone-nya hilang, semua tas yang ada di tempat itu diperiksa olehnya satu persatu. Iksan panik, takut tasnya diperiksa, karena hand phone hasil curianya ada dalam tasnya. Dengan cepat dia mengambil tasnya, lalu bersembunyi di mushola.
Setelah terlihat di luar mushola aman. Dia keluar dari mushola itu. Ada sepatu mahal yang pemiliknya sedang menunaikan shalat waktu itu. Dasar mental maling, sepatu itu dicuri oleh Iksan.
Teman-temannya Iksan semuannya sepakat bahwa yang mencuri hand pone itu adalah Iksan, karena pada waktu pemeriksaan tas, Iksan sudah tidak ada di tempat dengan tasnya. Dan mereka sepakat, jika suatu saat Iksan ada di tempat latihan, mereka akan menghajarnya. Tapi sayang, Iksan tidak latihan teater lagi.
Kata Iksan, “malas latihan teater, nggak ada duitnya.”
Sekarang saya juga sedang mencarinya, karena dia masih punya utang kepada saya. Saat dia belanja atau pulang-pergi karena disuruh mas Ogi, saya berperan jadi tujang ojek untuknya. Jika ada yang melihatnya, tolong hubungi saya, ya!

Hall_c. GRJS
Nama: Joseph Viar Suhendar
Alamat: Jati Padang Pasar Minggu
No Hp: 081384777920

Lajang
Joseph Viar Suhendar
Maaf, sebelumnya saya akan bertanya. Apakah kamu pernah merasakan rasa minder? Jika pernah, mungkin rasa minder yang saya rasakan sekarang pernah dirasakan kamu juga. Bukan minder—merendahkan diri, tapi minder—malu depan teman-teman sebaya karena belum menikah. Sebenarnya saya sedih, sudah setua ini kok saya belum beristri. Sedangkan adik-adik saya semuanya sudah mempunyai anak. Jadi bingung saya. Apalagi jika lebaran tiba, malas sebenarnya pulang kampung. Keluarga saya suka menanyakan pasangan saya. Padahal mereka tahu sampai saat ini saya belum punya pacar. Terus terang saya benci, dan tersinggung. Malahan ada yang lebih menyinggung: teman saya menjuluki saya “Si pecandu masturbasi”. Padahal saya sudah tidak pernah melakukan itu lagi. Tapi bukan berarti saya homo. Jika hasrat ingin “begituan” dengan wanita muncul dalam benak saya. Terus terang batin saya sangat tersiksa. Kok, umur sudah kepala tiga saya masih perjaka. Padahal saya ingin sekali punya istri. Ada yang memanggil saya Papah, Ayah atau Abang tersayang atau apalah yang penting sudah berumah tangga. Tapi sampai saat ini masih belum mapan juga. Dan setiap wanita yang saya kenal, mereka pun tidak memberi isyarat bahwa mereka menyukai saya. Mereka sepertinya hanya ingin berbicang-berbincang saja dengan saya.
Yang paling sering berbincang-bincang dengan saya itu Risya, teman kerja saya di toko emas. Masih muda, baru 20 tahun. Wajahnya mirip Dian Sastro Wardoyo, tubuhnya berisi dan selalu berpakaian sexy. Saya paling suka jika dia memakai kaos ketat dan rok mini, lalu nungging mengambil sampah di lantai dan pantatnya mengarah ke arah saya. Masya Allah… bersicepat tangan saya merogoh hand pone, kemudian memotretnya. Di kosan baru saya pandangi hasil potretan saya itu sambil rebahan. Memory card hand pone foto saya sudah hampir penuh oleh foto- foto Risya. Tidak ada foto wanita lain selain fotonya. Hampir setiap hari saya membayangkan saya membelainya, menciumnya, tidur berduaan dengannya. Aduh, terusterang saya menyukainya.
Sampai-sampai saya cemburu kepada Si Sugeng, tukang kebun bos saya, Pak Ahok. Gara-garanya dia suka menjemput Risya. Hampir setiap hari dia menjemputnya. Apalagi hari sabtu, sebelum jam kerja selesai dia sudah datang menjemputnya. Dan Risya pun selalu menuruti ajakanya. Jika saya melaporkanya kepada Pak Ahok. Pak Ahok malah menertawakan saya. Dan dia selalu bilang saya itu ngiri-an, jomlo kolot, katanya. Bajingan! Padahal dia juga jomlo. Istrinya meninggal diperkosa waktu kerusuhan mei- 98.
Sebelum Risya bekerja di toko, Pak Ahok masih sering SMS-an dengan saya, menelepon saya, cur-hat, minta ide mendapatkan wanita yang gampang. Salah alamat, bos, kata saya dalam hati. Minta cara mendapatkan wanita kepada orang yang belum pernah pacaran seumur hidupnya. Padahal dia kaya: motor punya, mobil punya, rumah mewah. Ternyata orang kaya juga sulit mendapatkan wanita, ya? Apalagi saya yang kerjanya hanya pelayan toko emas. Iya, kan ?
Tapi anehnya, si Sugeng yang umurnya tiga hari lagi koit, bisa mendekati Risya. Punya pelet apa tua bangka itu? Kalau masalah keren antara saya dengan dia, sok pasti kerenan saya. Motor saya pribadi, setatus saya paling tinggi. Si Sugeng motornya milik bos. Gajinya perbulan cuma cukup buat membeli bensin satu liter. Tapi Risya mau, ya, dibonceng oleh orang yang pantas dipanggil kakek.
Setiap hari saya berpikir, mencari cara agar si Sugeng tidak bisa menemui Risya lagi. Tapi sulit. Saya hanya menemukan satu cara: saya harus menghasut Risya agar mau pindah kerja. Tapi pindah kerja kemana? Bingung juga saya waktu itu. Akhirnya saya menelepon teman saya yang bekerja di hotel, di super market, dan di mall. Kebetulan, teman saya yang bekerja di hotel memberi tahu di tempat kerjanya sedang membutuhkan karyawan.
Ketika masuk kerja, saya langsung berkata kepada Risya bahwa di hotel tempat teman saya bekerja sedang membutuhkan karyawan. Dia menolak awalnya. Dia bilang sudah sangat betah bekerja bersama saya. Saya tersenyum dan menatapnya. Karena menyangka itu salah satu isyarat dia juga suka kepada saya. Dilihat dari tingkahnya sepertinya memang suka kepada saya. Setiap pagi pertama ketemu, dia selalu mencium tangan saya, mau pulang dia mencium lagi tangan saya, bahkan mau pergi dengan si Sugeng pun, dia pamitan sambil mencium tangan saya. Bagaimana hati saya tidak luluh dengan tingkanya itu.
Keinginan saya untuk membujuknya supaya pindah kerja pun semakin besar. Sayang menolak terus, katanya takut dimarahi pak Ahok. ”Apa hubungannya dengan bos?” Tanya saya. ”Pak Ahok itu hanya menggaji kamu yang tidak seberapa. Di hotelmah—mewah, pakaian seragam—rapih, ruangan ber-AC dan kamu bisa menabung lebih banyak,” kata saya. Setelah saya berkata seperti itu. Dia diam. Lalu berkata, ”iya, deh, besok saya antar lamaranya.” Saya langsung girang. ”Jangan menunggu besok, sekarang saja mumpung masih pagi!” Kata saya. Kelihatanya masih ragu. Tapi saya terus membujuknya. Akhirnya pergi juga.
Hari-hari selanjutnya, Risya sudah tak datang lagi ke toko. Saya bahagia sekali dia sering menelepon saya. Mengatakan tempat kerjannya yang baru sangat membuatnya bahagia. Dan jika kebagian kerja malam, seusai kerja selalu menelepon saya minta dijemput. Dengan senang hati saya melakukanya. Karena saat-saat seperti itulah saat yang paling saya tunggu. Saya bisa berduaan berbincang-bincang di atas motor dan bisa mengantarnya ke rumahnya. Agar orang tuanya tahu yang mengantar anaknya adalah saya. Siapa tahu mereka setuju.
Suatu hari, ketika si Sugeng datang ke toko akan menjemput Risya. Dia keget setelah saya mengatakan Risya sudah pindah kerja. Mampus! Kata saya dalam hati. Dia langsung pergi, dan sepertinya dia tahu, saya membencinya. Tapi tak lama, dia datang lagi bersama bos. Bos langsung marah-marah, ”kenapa kamu nggak menghubungi saya jika Risya sudah pindah kerja?” Saya diam dan agak gemetar, takut bos tahu bahwa otak semua ini adalah saya. Lalu kata bos, ”untuk sementara, pak Sugeng bekerja di sini, menggantikan Risya.”
Yang giliran kaget saya. Mata saya membelalak.
”Bos, apakah nggak ada orang lain selain si Sugeng?”
”Kamu ini siapa?” bentak bos, ”yang mempunyai toko ini saya! Mau kamu saya pecat?”
Saya tak menjawab, dalam hati saya kesal. Apalagi ketika saya melirik si Sugeng. Dia tersenyum mengejek, sepertinya dia puas saya dimarahi. Tukang kebun peot! Kata saya dalam hati.
Saya dengan si Sugeng diem-dieman seperti anak SD sedang marahan. Ketika pertama dia masuk kerja, dari mulai toko dibuka sampai toko ditutup diantara kami tak ada yang bicara. Terus lama-lama tingkah dia jadi merasa sok dekat dengan bos. Belagu dan suka merintah. Walau pun dia paling tua, tapi yang pertama kerja di toko itu kan saya, jadi saya yang senior, dan yang berhak memegang hak perintah itu saya, bukan dia. Dan kadang-kadang, dia suka pulang sebelum jam kerja berakhir. Alasanya melaksanakan tugas penting dari atasan.
Atasan tahi! Kok jadi seenaknya begitu. Saya langsung saja melapor kepada bos. Eh… bos malah bilang, ”nggak apa-apa, kalau kamu mau pulang sebelum jam kerja selesai, pulang saja, tapi jangan kembali lagi!” Ya Allah….
Apalagi waktu Risya minta dijemput jam 11 malam di tempat kerjanya. Kata saya, oke aku akan menjemput kamu. Tapi ketika saya di tengah perjalanan menuju tempat kerjanya Risya. Risyanya sudah dibonceng oleh si Sugeng. Saya mengerem mendadak dan tubuh langsung terasa lemas. Para pengendara pada membentak, karena saya berhenti di tengah jalan. Terus di tengah perjalanan pulang, ban motor saya kempes terkena paku. Masya Allah…, malam-malam begitu kan mana ada tukang tambal ban yang buka. Terpaksa saya mendorong motor saya sampai kosan, yang jaraknya antara 3 sampai 4 kilo meter.
Keesokan harinya, ketika masuk kerja, saya langsung memarahinya.
”Kamu kalau mau jemput Risya ngomong dulu, dong! Jangan seenaknya!” Kata saya.
”Memangnya saya mau antar jemput dia? Capek!” Jawabnya, ”itu bukan keinginan saya. Tapi keinginan bos.”
”Apa hubungannya dengan bos!”
”Bos itu pacarnya Risya dan dia akan menikah akhir bulan ini.”
Saya kaget, beberapa saat saya diam menatap mas Sugeng.
Lalu kata mas Sugeng, ”Sudah jangan diambil hati, saya juga tahu kamu suka juga kepada Risya. Dan saya juga tahu kamu cemburu kepada saya. Tapi saya sudah punya anak isteri, mas. Lebih baik mikirin kerjaan dari pada merencanakan punya isteri kedua. Berat dimateri.”
Saya membuang muka, malu, dan merasakan sesuatu yang sangat terasa sakit dalam dada saya. ” Mas,” kata saya kepada mas Sugeng, ”Saya mau pulang duluan, tolong sampaikan kepada bos, kalau mau memecat saya gara-gara saya pulang kerja sebelum waktunya, Pecat saja. Saya akan menerimanya.” tak terasa air mata saya menetes.
Di kosan saya menangis. Kenapa saya tidak tahu bos berpacaran dengan Risya. Dan kenapa Risya selama ini seperti orang yang menyukai saya. Terus terang saya merasa sakit hati dan kecewa. Mulai hari itu, saya berniat tidak akan kembali lagi bekerja di toko emas bos. Dan gaji saya yang satu bulan dengan iklas saya serahkan kepada mas Sugeng, sebagai tanda ma’af saya kepadanya.
”Ma’af mas jika selama ini saya telah memfitnah mas Sugeng.”
Hall_c. GRJS
Nama: Joseph Viar Suhendar
Alamat: Jati Padang Pasr Minggu
No hp: 081384777920

Diproteksi: cerpen

Minggu, Februari 8th, 2009

Tulisan ini dilindungi kata sandi. Untuk melihatnya mohon masukkan sandi Anda di bawah ini:


Minggu, Februari 8th, 2009

Aku dan Agnes Monika

Joseph Viar Suhendar

Aku menunggu depan tv

Agnes Monika Cuma lalu

Aku selalu rindu

Dan Agnes Monika tidak tahu

Aku menanti waktu

Waktu aku bertemu

Aku melupakan semua hayalanku

Karena Agnes Monika enggan menatapku

Aku kini berhati pilu

Pada gadis yang tak mau tahu.

3-agustus-2008

Hall-c. GRJS